Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik /mantan pengurus NU Jawa Barat (2010 - 2021)
Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj, pengasuh pesantren "Al Tsaqofah", Jakarta dengan garis geneologis Pesantren Khas Kempek Cirebon Jawa Barat, adalah santri "par exelence", santri seutuhnya dalam performa terbaiknya di ruang publik.Â
Beliau santri baik dalam definisi kultural Dr. Zamahsyari Dhofir, penulis buku "Tradisi Pesantren" (1982) maupun santri dalam konstruksi antropologi politik Clifford Geertz, penulis buku "The "Religion Off Java" - edisi bahasa Indonesia berjudul "Santri, Priyayi dan Abangan".
Beliau lebih dari sekedar layak untuk didaulat menjadi Rois A'am PBNU dalam Muktamar NU ke 35 kelak awal tahun 2027 tentu bukan an sich dan semata mata karena pernah menjabat sebagai Ketua Umum (Tanfidziyah) PBNU dua periode (2010 -2021)
Penguasaannya atas "Alkutubul Mu'tabaroh", kitab kitab otoritatif dalam khazanah referensial Ahlus Sunnah Wal jamaah, - "la raiba fih", tak diragukan sedikit pun. Hafal diluar kepala tingkatan tingkatan kitab dari "matan", "syarah" dan "hasiyah" berikut jumlah jilid, tahun lahir dan meninggal pengarangnya.
KH. Said Aqil Sirodj tak dapat dipisahkan dari sosok Gus Dur, tokoh "Iconic" dan "historis" NU, pembuka jalan bertumbuhnya intelektualitas generasi muda NU tahun1980 an dalam peta pemikiran sosial politik dan keagamaan di level Nasional di mana KH. Said Aqil Siradj salah satu tokoh intelektual NU yang menonjol sekaligus kontrovesial, mengikuti ciri kontroversialime Gus Dur.Â
Â
Beliau mengakui sebagai santrinya Gus Dur, santri tidak dalam konteks mengaji kitab "sorogan" langsung kepada Gus Dur sebagaimana dalam tradisi pesantren tapi menimba "Ilmu Ahwal', ilmu tentang membaca sosiologi umat, lingkungan strategis, geopolitik dan priilaku kultural warga NU - karena intensitas kedekatan interaksi sehari hari dalam waktu cukup panjang.
Gus Dur dan KH Said teguh dalam prinsip meletakkan NU di bawah kepemimpinannya dalam posisi "tawashut", di titik tengah dalam relasi negara, di titik tengah di antara keseimbangan relasi politik rakyat dan negara (kekuasaan) meskipun Gus Dur lebih "taktis" dan canggih sekaligus "jlimet" sementara KH Said lebih "Pantura", "tokmol", sehingga di ruang publik nasional tampak lebih "keras" dan menusuk.