Di era tren gaya hidup sehat, banyak orang berlomba mencari cara diet yang cepat dan efektif. Dalam beberapa tahun terakhir, beras porang mulai mencuri perhatian publik sebagai alternatif pengganti nasi putih. Dengan klaim rendah kalori dan mampu membantu menurunkan berat badan, banyak orang tergoda mencoba porang sebagai bagian dari pola makan sehat. Di sisi lain, beras merah sudah lebih lama dikenal sebagai "nasi sehat" yang kaya nutrisi. Pertanyaannya, jika keduanya sama-sama dikaitkan dengan diet, mana sebenarnya yang lebih efektif: beras merah atau beras porang?
Menurut saya, efektivitas beras merah dan beras porang tidak bisa dibandingkan secara hitam putih. Keduanya punya keunggulan masing-masing. Porang memang unggul dalam menekan kalori, tetapi beras merah lebih seimbang dan realistis untuk pola makan jangka panjang.
Kandungan Gizi
Dari sisi gizi, beras merah jauh lebih unggul. Di dalamnya terkandung vitamin B kompleks, zat besi, magnesium, serta serat yang bermanfaat bagi metabolisme tubuh. Menurut Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2020, per 100 gram nasi merah mengandung sekitar 2,8 gram protein, 149 kalori, 0,4 gram lemak, dan 0,3 gram serat. Karbohidrat kompleks yang dimiliki beras merah juga membuat energi lebih stabil, tidak cepat naik-turun seperti saat mengonsumsi nasi putih.
Sementara itu, beras porang terbuat dari umbi tanaman porang (Amorphophallus muelleri). Tanaman ini dikenal juga dengan nama iles-iles, tanaman asli Indonesia yang banyak ditemukan di hutan-hutan di Pulau Jawa. Â Keunggulan beras porang terletak pada glukomanan, yang merupakan polisakarida yang tercampur bersama air yang terhitung sebagai serat makanan. Kandungan tersebut sangat penting bagi orang-orang yang ingin menurunkan berat badan karena sejenis serat larut yang bisa memberi rasa kenyang lebih lama tanpa tambahan kalori. Artinya, porang lebih berfungsi sebagai pengganjal perut ketimbang penyumbang nutrisi. Â
Efektivitas untuk Diet
Efektivitas diet tidak hanya soal angka kalori, tetapi juga keberlanjutan dan tujuan jangka panjang. Bagi penderita obesitas atau mereka yang ingin menurunkan berat badan dalam waktu singkat, porang bisa sangat membantu. Kandungan kalorinya yang sangat rendah membuat tubuh lebih cepat mencapai defisit energi.
Namun, jika tujuan diet adalah menjaga pola makan sehat sepanjang hidup, beras merah lebih logis untuk dipilih. Dengan kandungan gizi yang lebih lengkap, tubuh tetap mendapat energi dan nutrisi penting meski sedang membatasi kalori.
Ketersediaan dan Keberlanjutan
Selain kandungan gizi dan efektivitas, faktor keberlanjutan juga tidak kalah penting. Beras merah relatif mudah ditemukan di supermarket maupun pasar tradisional. Harganya memang sedikit lebih mahal daripada beras putih, tetapi masih cukup terjangkau untuk konsumsi rutin.
Sedangkan beras porang, ketersediaannya masih terbatas, harganya tinggi, dan tidak semua orang bisa menerima rasa serta teksturnya yang berbeda. Padahal, keberhasilan diet sangat bergantung pada konsistensi. Jika makanan diet sulit diperoleh atau tidak bisa dinikmati, besar kemungkinan diet tersebut hanya akan bertahan sebentar.
Pangan Lokal dan SDGs
Selain soal gizi dan efektivitas diet, isu ini juga terkait dengan ketahanan pangan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam diversifikasi pangan lokal. Beras merah merupakan bagian dari warisan pertanian yang kaya nutrisi, sementara porang sebagai tanaman asli Nusantara kini semakin dikembangkan sebagai komoditas ekspor.
Mengoptimalkan keduanya bukan hanya mendukung pola makan sehat, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional serta berkontribusi pada:
SDG 2 (Zero Hunger): memastikan ketersediaan pangan yang beragam.
SDG 3 (Good Health and Well-being): mendukung pola makan sehat untuk mencegah penyakit.
SDG 12 (Responsible Consumption and Production): mendorong konsumsi yang lebih berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Jadi, mana yang lebih efektif untuk diet? Jawabannya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuannya menurunkan berat badan dengan cepat, porang dapat dijadikan solusi sementara. Tetapi jika diet dimaksudkan untuk investasi di masa depan agar tubuh lebih sehat, berat badan stabil, dan kebutuhan gizi terpenuhi, tentu beras merah lebih unggul. Keduanya juga bisa dipadukan: porang untuk fase diet awal, lalu beras merah untuk menjaga kesehatan berkelanjutan.Â
Pada akhirnya, diet bukan soal mengikuti tren sesaat, melainkan memilih pola makan yang realistis, bernutrisi, dan bisa dijalani seumur hidup. Menariknya, diskusi tentang beras merah dan porang tidak hanya menyentuh kesehatan individu, tetapi juga menyangkut ketahanan pangan. Beras merah mendukung diversifikasi pangan lokal, sementara porang menjanjikan sebagai komoditas ekspor sekaligus alternatif sumber karbohidrat. Keduanya berkontribusi pada sistem pangan yang lebih beragam dan berkelanjutan, sejalan dengan SDG 2 dan SDG 12. Yang terpenting, jangan sampai demi menurunkan berat badan kita justru mengorbankan kesehatan dan keberlanjutan pangan di masa depan.Â
Referensi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2020. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Nurcahya, S. B., Mantri, Y. M., & Hatimatunnisani, H. (2022). Analisis potensi porang sebagai pengganti beras untuk ketahanan pangan di Kabupaten Pangandaran. Jurnal Pendidikan, Humaniora, Linguistik Dan Sosial (JAGADDHITA), 1(1), 22-35.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI