Mohon tunggu...
Aditya Nuryuslam
Aditya Nuryuslam Mohon Tunggu... Auditor - Menikmati dan Mensyukuri Ciptaan Ilahi

Menjaga asa untuk senantiasa semangat berikhtiar mengadu nasib di belantara Megapolitan Ibukota Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Pilih Puasa atau Bawa Ransum dari Rumah

6 November 2020   15:39 Diperbarui: 7 November 2020   21:49 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naik kereta Api .... Tut Tut Tut
Siapa hendak turuun .....
Ke Bandung .... Surabaya ....
Bolehlah naik dengan percuma ...
Ayo kawanku lekas naik ...
Keretaku tak berhenti lamaa ....

Sepenggal lagu anak-anak yang tertanam kuat di sanubari generasi baby boomers dan generasi x ini memang menceritakan bagaimana nikmat dan bahagianya bisa bepergian naik kereta api. Seperti kita ketahui bersama, di tahun 80 an moda transportasi masal jarak jauh yang cukup mewah bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah seperti keluarga kami saat itu adalah kereta api. 

Saya ingat pertama kali naik kereta api dari Solo ke Jakarta naik Senja Utama. Dari stasiun balapan berangkat pukul 6 sore dan tiba di stasiun jatinegara pukul 8 pagi. Tidak seperti sekarang ini yang gerbong kereta apinya sudah lebih bagus dan bersih serta tidak ada lagi kelas penumpang dapat naik kereta api dengan tiket tanpa tempat duduk ataupun penumpang gelap yang bayar diatas. 

Kesan yang tertanam dalam diri saya saat itu dan sampai sekarang masih sulit saya rubah adalah keengganan saya menggunakan toilet gerbong kereta api. Kita tahu bersama jauh sebelum PT KAI melakukan reformasi dengan memberikan pelayanan yang terbaik, kereta api (saat itu) kalau saya menggambarkan bagaikan perjalanan jarak jauh dengan tumpukan sampah yang menggunung di sudut-sudut lantainya, baik sampah dari si penumpang itu sendiri ataupun sisa sampah dari penumpang sebelumnya yang tidak dibersihkan. Dan tempat terjorok dan terkotor dari sebuah gerbong kereta api ada di toiletnya.

Pengalaman buruk saya menggunakan toilet super jorok kereta api waktu itu adalah kondisi fisiknya sangat tidak terawat dengan ditambah joroknya para pengguna toilet kereta api (saat itu) yang cukup membuat perut mual. Belum lagi pintu toilet yang seringkali rusak dan harus ekstra effort untuk menahan pintu agar tidak selalu terbuka ketika toilet gerbong di gunakan. Alhamdulillah, kondisi nightmare seperti yang saya sebutkan didepan sudah tidak ada lagi, namun demikian pengalaman buruk saya di waktu kecil itu telah membentuk alam bawah sadar saya mencetak sebuah doktrin bahwa jika suatu saat nanti naik kereta api lagi otomatis akan membuat pilihan keputusan untuk berpuasa atau setidaknya sesedikit mungkin makan dan minum agar terhindar dari "panggilan alam" yang mengharuskan saya menggunakan toilet gerbong kereta api. 

Alhasil sampai sekarangpun pola koding doktrin pemikiran saya untuk seminimal mungkin menggunakan toilet gerbong kereta api masih bekerja meskipun saya sadari saat ini gerbong kereta api sudah jauh lebih baik kondisinya jika dibandingkan dengan kondisi gerbong kereta api saat saya masih kecil (di era akhir 80 an dan awal 90 an).

Meskipun demikian, sampai saat inipun alam bawah sadar saya "telah memaksa" saya menjadi orang yang sangat jarang untuk menikmati dan membeli jajanan yang ditawarkan pramugari/pramugara kereta api. Bahkan akhir akhir ini saya lebih sering memilih untuk membawa ransum masakan dari rumah ketimbang jajan di kereta api. 

Berbicara tentang makanan dan minuman yang ditawarkan oleh pramugara/pramugari di kereta api, memang betul harga yang ditawarkannya termasuk lumayan mahal jika dibandingkan harga yang ditawarkan untuk produk yang sama di rumah makan ataupun kantin. Hal itu menurut saya logis, jika kita kembalikan ke teori ekonominya dimana itulah terjadi faktor kelangkaan penawaran maka dengan serta merta akan mendorong penetapan harganya semakin tinggi. 

Biasanya untuk perjalanan rute pendek misalnya Jakarta - Bandung ataupun Jakarta - Cirebon, saya memilih untuk jajan kopi instan dan/atau air mineral, selain praktis harganyapun menurut saya masih masuk akal (tingkat kemahalannya) dan tidak setinggi harga dari seporsi makanan di kereta api. 

Namun bukan orang Indonesia kalau tidak bisa mensiasatinya. Banyak cara yang dilakukan untuk mensiasati agar tidak membeli jajanan di kereta api di antaranya yang paling lazim dilakukan adalah membawa nasi bungkus warteg atau padang dan ada juga yang  membeli mie instant cup di minimarket di sekitar stasiun dan tidak lupa membawa termos berisi air panas untuk menyeduhnya. Dan mungkin termasuk yang saya lakukan selama ini dengan memilih untuk membawa ransum dari rumah. Namun jika dalam kondisi terpaksapun akhirnya doktrin masa lalu bisa keluar secara otomatis yaitu mendingan puasa saja sekalian daripada makan minum dan ujung ujungnya harus bolak balik ke toilet.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun