Mohon tunggu...
Aditya Irawan
Aditya Irawan Mohon Tunggu... -

I see and I observe

Selanjutnya

Tutup

Politik

)|( Kaffah Beriman kepada Pragmatisme )|(

18 Juni 2014   23:31 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:12 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bergabungnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke dalam Gerbong Koalisi Merah Putih yang dikomandoi Prabowo Subianto memang terasa janggal. Dua entitas yang tampak sulit untuk bersinergi itu kini jadi sekutu. Namun bila kita cermat menilik ke belakang, peristiwa itu tidaklah mengejutkan.

Persekutuan atau peseteruan partai politik hari ini tidak lagi berlandaskan ideologi tertentu. Ideologi yang dipakai untuk melakukan koalisi antar-partai adalah universal, yaitu pragmatisme. Dan pragmatisme dalam konteks koalisi ini hadir untuk mengakomodasi syarat pencapresan. Hanya demi tercapainya presidential threshold, partai politik yang berbeda gestur dan haluan seperti Gerindra dan PKS dapat bersatu dengan mesranya. Akibatnya, warna ideologi khas sebuah partai sudah sangat luntur. Episode kemesraan dan perkelahian antar-partai sangat cair, tergantung agenda yang sedang dimainkan.

Babak awal PKS dimulai dengan kemunculan Partai Keadilan (PK) yang dideklarasikan pada tahun 1998. Selanjutnya PK melakukan debut dalam pemilu 1999 dengan perolehan suara 1,36%. Angka ini tidak memenuhi persyaratan ambang batas 2% untuk melenggang ke parlemen, maka gugurlah PK dalam proses electoral threshold sehingga tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya.

Benih-benih PK dimulai sekitar tahun 1970-an yang mengejawantah dalam sosok para aktivis dakwah kampus. Para aktivis dakwah kampus tersebut mendirikan dan mengelola pengajian yang diwadahi dalam bentuk lembaga dakwah kampus (LDK). Lembaga ini kerap menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan, seperti pengajian untuk mahasiswa. Aktivitas keagamaan lembaga tersebut lebih sering dilakukan secara diam-diam dan jika lembaga tersebut menyelenggarakan pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan kegiatan mahasiswa.

[caption id="attachment_329642" align="aligncenter" width="390" caption="Ilustrasi Dakwah dalam Kampus (dakwatuna.com)"][/caption]

Hal ini sengaja mereka lakukan karena pada masa itu, rezim yang berkuasa adalah rezim Soeharto. Rezim ini dikenal sangat represif terhadap gerakan keagamaan. Akan tetapi, situasi tersebut mulai berubah pada era 1990-an, saat Soeharto mulai menempatkan para aktivis Islam sebagai sekutu. Sejak saat itulah, gerakan yang semula bernama Usroh ini berganti nama menjadi Ikhwan dan mereka menamai aktivitas mereka dengan sebutan Tarbiyah.

Di awal perintisannya, gerakan Tarbiyah sangat menguasai wacana dalam Partai Keadilan. Mereka adalah sosok terdidik dengan idealisme kental. Berangkat dari kampus, bermodalkan intelektualitas dan belum bercumbu dengan gelimang materi dan kekuasaan, nafas perjuangan gerakan Tarbiyah adalah kejujuran, kesederhanaan dan kebersahajaan. Bagi gerakan Tarbiyah, politik hanyalah sarana untuk berdakwah. Dan tujuan dakwah tak lain adalah mengajak pada kebaikan dan memerangi segala bentuk kezaliman tanpa kompromi.

Setelah PK gugur dalam electoral threshold, mereka bermetamorfosis menjadi PKS yang dideklarasikan pada tahun 2003. Perubahan PK menjadi PKS ternyata tidak sekedar bagian proses administratif agar dapat kembali mengikuti pemilu. Masuknya kader-kader yang lebih muda dalam kepengurusan menggantikan pendiri PK telah mengubah corak warna awal PK. Sementara, beberapa sosok kunci seperti Hilmi Aminudin dan Hidayat Nur Wahid masih bercokol.

[caption id="attachment_329644" align="aligncenter" width="686" caption="Partai Keadilan, gugur dalam Pemilu 1999 (free-logovector.blogspot)"]

1403083602874995491
1403083602874995491
[/caption]

Beberapa pendiri PK merasa tidak sreg dengan arah perjuangan politik PKS. Mereka melihat ideologi dan idealisme yang diusung PK selama ini telah banyak pudar dalam kepengurusan PKS saat ini.

“Dulu, kita tak peduli ada uang. Tidak ada uang kita bergerak karena ideologi dan idealisme kita," keluh Syamsul Balda, mantan Wakil Presiden Partai Keadilan yang telah menyatakan keluar dari partai sejak beberapa tahun lalu.

Syamsul menambahkan,

"PK didirikan atas dasar ideologi Islam dan idealisme para pendirinya perjuangkan syariat Islam. Tapi kini,  PKS sebagai partai yang ideologi pragmatis. Hanya mencari jabatan, uang, dan kekuasaan semata.”

Pendiri PK, Mashadi juga senada dengan Syamsul Balda. Mashadi bahkan mendesak agar PKS segera dibubarkan karena dinilai hanya akan menjadi beban bagi umat Islam. Pernyataan keras ini dikeluarkan pasca merebaknya kasus suap impor daging sapi yang telah mengantarkan Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishaq ke dalam bui.

Syamsul Balda dan Mashadi adalah representasi kekecewaan terhadap PKS di tataran elit; fenomena yang tampak di permukaan. Di akar rumput, perpecahan yang luput tersorot publik juga telah dan semakin masif terjadi. Kader-kader PKS di bawah yang berjuang dengan sekuat tenaga tanpa pamrih juga banyak yang mengalami kekecewaan. Bagaimana tidak, gerakan Tarbiyah yang sedari awal berjuang melalui jalan dakwah secara underground karena represi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, kini disuguhi tontonan para petingginya yang makin mabuk dengan kekuasaan. Belakangan, PKS malah mendukung penuh gelar kepahlawanan untuk Soeharto. Presiden PKS Anis Matta dan Sekjen Taufik Ridho sampai berziarah ke makam Soeharto jelang Pemilu Legislatif yang lalu. Sungguh sangat dapat dipahami jika kini banyak kader PKS yang berbalik badan.

Para elit politik PKS telah membutakan matanya sampai mengabaikan bahaya di depan mereka. Dalam gerbong koalisi Gerindra, bercokol Hashim Djojohadikusmo, adik kandung Prabowo yang juga penyandang utama dana sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra. Hashim, seorang Nasrani yang juga pengusaha kelas kakap ini dalam forum USINDO di Washington pada tahun 2013 telah menyebut dengan telak bahwa PKS adalah partai yang intoleran. Ini terkait dengan tindakan Kementerian Pertanian (yang disebut Hashim ‘dikendalikan PKS’) memecat 73 pegawai yang beragama Nasrani. Hashim mengatakan, Pemerintah Indonesia mesti menghentikan diskriminasi ini.  Ini adalah seruan perang terbuka terhadap PKS dari Hashim Djojohadikusumo.

[caption id="attachment_329641" align="aligncenter" width="653" caption="Hashim Djojohadikusumo - Suswono (diolah dari detik.com & tempo.co)"]

14030832501245912515
14030832501245912515
[/caption]

Dan kini, setelah satu gerbong dengan Hashim, PKS lewat Menteri Pertanian Suswono mengklarifikasi tuduhan Hashim. Namun Hashim bukannya menarik pernyataannya, ia malah meralat jumlah pegawai beragama Nasrani yang dipecat di Kementan bukan berjumlah 73, melainkan 76. Belum juga Prabowo menjadi Presiden, Hashim dan PKS sudah saling berkonfrontasi. Dapat dibayangkan betapa sengitnya perkelahian dalam proses bagi-bagi kekuasaan terjadi jika Prabowo terpilih menjadi presiden.

Melencengnya ideologi dengan laku petinggi partai PKS telah memecah belah internal PKS sendiri. Untuk memulihkan kepercayaan, PKS harus membenahi konsolidasi dari dalam. Semangat keadilan tanpa kompromi harus kembali ditumbuhkan, jangan mau diperalat elit yang hanya mementingkan kompromi politik. Paham pragmatisme identik dengan kesementaraan. Alangkah ironisnya jika jalan menuju akhirat sebagai tujuan jangka panjang Tarbiyah dikotori dengan kemilau dunia yang berlangsung singkat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun