Umar bin Khattab dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi yang luar biasa cerdas. Kecerdasannya tidak hanya terlihat dalam strategi perang atau kepemimpinan, tetapi juga dalam pemikirannya yang visioner. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah ide pembukuan Al-Qur'an. Langkah ini menunjukkan bagaimana ia memandang jauh ke depan demi menjaga agama Islam. Kisah ini menjadi inspirasi hingga hari ini.
Pertama, Umar bin Khattab khawatir Al-Qur'an akan hilang dari muka bumi. Kekhawatiran ini muncul setelah banyak sahabat Nabi yang hafal Al-Qur'an gugur syahid di medan perang, terutama pada Perang Yamamah tahun 632 M. Dalam pertempuran melawan pasukan Musailamah Al-Kazzab ini, sekitar 70 hingga 1.200 sahabat penghafal Al-Qur'an (qurra') dilaporkan meninggal, tergantung pada sumber sejarah seperti yang dicatat dalam Sirah Ibn Hisham dan Tarikh Tabari. Umar menyadari bahwa hafalan lisan, yang menjadi metode utama pelestarian Al-Qur'an pada masa itu, tidak lagi cukup andal. Jika para penghafal terus wafat, baik karena peperangan maupun sebab alami, risiko hilangnya ayat-ayat suci menjadi sangat nyata. Pada masa itu, Al-Qur'an belum dikompilasi secara tertulis dalam satu naskah resmi; ayat-ayatnya tersebar di tulang, kulit, dan ingatan para sahabat. Dari sinilah Umar mengusulkan ide visioner kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur'an menjadi satu mushaf, sebuah langkah yang kemudian dilaksanakan oleh Zaid bin Tsabit.
Kedua, pembukuan Al-Qur'an memudahkan generasi mendatang dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran suci. Umar bin Khattab ingin agar Al-Qur'an tidak hanya dilestarikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga tersedia dalam format tertulis yang mudah dibaca dan dipahami. Sebelumnya, ayat-ayat Al-Qur'an dicatat di berbagai media seperti pelepah kurma, kulit hewan, dan batu, yang dikumpulkan secara terpisah oleh para sahabat. Menurut riwayat dalam Sahih Bukhari (Hadis 4986), proses kompilasi di bawah pengawasan Zaid bin Tsabit menghasilkan satu mushaf resmi pada masa Khalifah Abu Bakar, yang kemudian disempurnakan pada masa Utsman bin Affan sekitar tahun 650 M dengan penyalinan dan penyeragaman dialek Quraisy. Dengan ditulis dalam satu mushaf, umat Islam dari berbagai wilayah bisa mempelajarinya secara konsisten, tanpa risiko perbedaan versi atau kesalahan transmisi lisan. Ini memastikan ajaran Al-Qur'an tetap hidup, mudah diakses, dan diamalkan sesuai aslinya. Visi Umar ini membuktikan perhatiannya yang mendalam pada masa depan umat, menjadikan Al-Qur'an tidak hanya warisan masa lalu, tetapi juga pedoman abadi bagi generasi berikutnya.
Ketiga, Umar bin Khattab menunjukkan pentingnya kecerdasan dan pandangan visioner dalam menjaga kelestarian agama. Ia tidak terpaku pada tradisi lama yang hanya mengandalkan hafalan lisan sebagai satu-satunya cara pelestarian Al-Qur'an, meskipun metode ini telah menjadi kebiasaan sejak zaman Nabi Muhammad. Pada masa itu, menurut catatan sejarah seperti yang dikutip dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar, hafalan dianggap cukup karena banyak sahabat yang menjadi huffaz (penghafal Al-Qur'an) dan kehidupan masih terpusat di jazirah Arab. Namun, Umar melihat tantangan baru pasca-Perang Yamamah dan ekspansi Islam yang pesat ke wilayah seperti Syam dan Persia. Sebaliknya, ia berinovasi dengan mengusulkan pembukuan Al-Qur'an, sebuah langkah yang relevan dengan perkembangan zaman tanpa menyimpang dari keaslian wahyu. Proses ini, yang dimulai pada masa Abu Bakar sekitar tahun 632-634 M dan disempurnakan pada masa Utsman, menunjukkan bahwa Umar mampu menggabungkan tradisi dengan solusi praktis. Langkah ini mendorong kemajuan Islam dengan memastikan Al-Qur'an dapat diakses secara luas, tanpa melanggar nilai-nilai suci yang terkandung di dalamnya. Umar mengajarkan bahwa Islam harus adaptif dan progresif, sebuah pelajaran yang tercermin dalam keberhasilannya menjadikan Al-Qur'an sebagai kitab yang terjaga hingga kini.
Kecerdasan dan visi Umar bin Khattab patut diwariskan kepada generasi muda Islam. Pembukuan Al-Qur'an adalah bukti bahwa inovasi bisa menjaga ajaran agama tetap relevan. Generasi saat ini perlu belajar darinya untuk mengamalkan Al-Qur'an dengan cara yang bijak. Seperti kata Umar, "Jangan biarkan masa lalu menghentikan langkahmu, tetapi jadikanlah ia pijakan menuju kebaikan yang lebih besar." Dengan begitu, Islam akan terus berkembang di setiap zaman. Umar adalah teladan abadi bagi umat.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI