Hukum adalah pilar utama dalam membangun peradaban suatu bangsa. Hukum berfungsi mengatur tata kehidupan masyarakat agar menghasilkan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, hukum semestinya dijalankan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Banyak masyarakat merasa bahwa hukum di Indonesia cenderung tidak ditegakkan secara tegas, bahkan terkesan pilih-pilih.
Berbagai kasus menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran hukum dari kalangan menengah kebawah atau miskin sering kali dihukum berat, sementara pelaku dari kalangan elite justru mendapatkan perlakuan yang berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di pikiran masyarakat. Mengapa hukum di Indonesia tidak dijalankan secara teguh dan tegas? Tulisan ini mencoba untuk menganalisis permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan teori penegakan hukum dan memaparkan contoh konkret yang terjadi di masyarakat.
- Landasan Teori
1. Teori Penegakan Hukum Oleh Satjipto Raharjo
Satjipto Rahardjo, seorang ahli hukum progresif Indonesia, menyatakan bahwa hukum tidak boleh dipandang sekadar sebagai kumpulan aturan yang kaku. Hukum harus diposisikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan substantif, bukan hanya formalitas prosedural. Menurutnya, penegakan hukum yang terlalu menekankan pada teks undang-undang justru akan mengabaikan aspek kemanusiaan dan keadilan yang menjadi inti hukum itu sendiri
Satjipto menyebut bahwa hukum harus berpihak kepada manusia, bukan sekadar menjadi alat untuk menegakkan aturan. Oleh karena itu, Lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim harus mampu melihat konteks sosial dari pelanggaran hukum yang terjadi dan tidak hanya terpaku pada prosedur hukum yang kaku.
2. Konsep "Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas"
Ungkapan ini sudah sering didengar di telinga masyarakat Indonesia. Ungkapan tersebut menggambarkan ketimpangan dalam penegakan hukum di mana rakyat miskin diperlakukan keras dan tanpa toleransi, sementara para elite yang memiliki kekuasaan dan uang seringkali bisa menghindari jeratan hukum. Fenomena ini menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan hukum, yang pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional.
Salah satu contoh konkret dari ketimpangan hukum adalah kasus pencurian 3 kakao dengan terdakwa Nenek Minah yang tertuang dalam Putusan No.247/PID.B/2009/PN.Pwt itu menjadi referensi Jaksa Agung ataupun Kapolri hingga menggaungkan penerapan restorative justice dalam berbagai kasus. Ia diproses secara hukum dan dihukum meskipun nilai barang yang diambil sangat kecil. Bandingkan dengan kasus korupsi dana bantuan sosial oleh pejabat negara yang merugikan negara miliaran rupiah, namun pelakunya mendapat keringanan hukuman bahkan pembebasan bersyarat.
Contoh lain adalah penangkapan aktivis atau warga yang menyuarakan kritik melalui media sosial dan dijerat dengan UU ITE. Banyak dari mereka dijadikan tersangka karena mengkritik pejabat publik, sementara ujaran kebencian dan hoaks yang dilakukan oleh tokoh tertentu dibiarkan tanpa proses hukum yang tegas. Ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia belum benar-benar menjadi pelindung keadilan, tetapi justru menjadi alat kekuasaan.
- Penyebab Hukum Tidak Jelas
1. Korupsi dan Campur Tangan Politik
Salah satu faktor utama lemahnya penegakan hukum adalah korupsi yang mengakar di tubuh lembaga penegak hukum. Praktik suap untuk menghilangkan atau meringankan hukuman bukan lagi hal yang asing. Selain itu, intervensi dari pihak-pihak berkepentingan, seperti pejabat atau politisi, membuat proses hukum menjadi tidak independen.