Penulis : Dr. H. Kosim, M.Ag
Penerbit : IAIN Press / CV. ELSI PRO
Cetakan : Pertama 2011, Kedua 2020
Jumlah Halaman : 164
Pendahuluan & Landasan Teori
Buku ini mengulas perjalanan panjang peradilan agama di Indonesia dengan memakai pendekatan teori sosial (fungsi, konflik, interaksionalisme) dan teori ketatanegaraan (hubungan negara--agama, hukum, dan politik). Penulis berusaha menjawab mengapa peradilan agama mengalami pasang surut seiring perubahan sosial, politik, dan hukum .
- Peradilan Agama pada Masa Kesultanan Islam, Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah, kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam.Peradilan agama saat itu dijalankan oleh para kadi/penghulu yang menangani perkara perdata, perkawinan, waris, wakaf, hingga pidana menurut syariat.Contoh kuat: Kerajaan Mataram, Aceh, Banten, dan Kesultanan di Sulawesi. Peradilan agama di masa ini masih sangat erat menyatu dengan kekuasaan politik kerajaan .
- Peradilan Agama di Masa Kolonial Belanda,Awalnya diakui cukup luas, tetapi kemudian dibatasi.Teori Receptio in Complexu (Van den Berg) menyebut hukum Islam berlaku otomatis bagi Muslim. Namun, teori ini diganti oleh Receptie (Snouck Hurgronje) yang menyatakan hukum Islam hanya berlaku bila diterima adat.Penghulu dimarjinalkan: hanya penasehat agama di Landraad (pengadilan negeri), bahkan tidak digaji pemerintah .Peradilan agama hanya diberi kewenangan terbatas, khususnya perkawinan dan waris, dan itu pun sering dikontrol pengadilan umum.
- Peradilan Agama pada Masa Pendudukan Jepang,Jepang tidak banyak mengubah sistem peradilan, hanya mengganti istilah dengan bahasa Jepang.Ada upaya menghapus peradilan agama sebagai lembaga khusus, namun tidak sempat terlaksana.Dibentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) sebagai cikal bakal Departemen Agama .
- Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan
- 1945: UUD 1945 berlaku teori Receptie gugur (Receptie Exit). Hukum Islam memperoleh pijakan kuat lewat Pasal 29 UUD 1945 .
- 1946: PP No. 5/1946 Peradilan Agama di bawah Kementerian Agama.
- 1948: UU No. 19/1948 Peradilan Agama masuk lingkungan peradilan umum, sejajar dengan pengadilan lain .
- 1970: UU No. 14/1970 kedudukan peradilan agama makin kokoh.
- 1974: UU No. 1/1974 tentang Perkawinan mengakui wewenang peradilan agama, meski awalnya masih harus dikukuhkan pengadilan umum .
- 1989: UU No. 7/1989 tonggak penting, Peradilan Agama berdiri sendiri dengan kewenangan penuh.
- 2006 & 2009: Revisi UU memberi perluasan kewenangan, termasuk ekonomi syariah (bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dll.) .
- 2008: UU No. 21/2008 mempertegas sengketa perbankan syariah diselesaikan di Peradilan Agama .
- Peradilan Agama di Era Reformasi, Wewenang semakin luas: dari hanya urusan perkawinan, waris, wakaf, hibah, kini merambah ke sengketa ekonomi syariah. Peradilan Agama menjadi simbol hubungan interaktif antara mayoritas Muslim Indonesia dengan sistem ketatanegaraan.Tantangan: meningkatkan integritas, transparansi, serta menjawab kebutuhan hukum masyarakat modern .
Kesimpulan Utama Buku
Peradilan Agama di Indonesia mengalami fluktuasi tergantung konteks sosial-politik: kuat di masa kesultanan, dibatasi di masa kolonial, lalu diperkuat kembali setelah merdeka. Perkembangan terakhir menunjukkan penguatan kelembagaan dan kewenangan yang signifikan, selaras dengan mayoritas masyarakat Muslim. Meski begitu, masih ada tantangan berupa konflik sosial, keterbatasan sumber daya, dan tuntutan keadilan modern.
Kelebihan Buku
- Kaya referensi sejarah: Menyajikan perjalanan panjang peradilan agama dari masa awal Islam di Nusantara hingga masa reformasi.
- Pendekatan ilmiah: Analisis menggunakan teori sosial dan ketatanegaraan membuat buku ini lebih dari sekadar narasi sejarah.
- Bahasa relatif mudah: Meski akademis, cukup bisa diikuti oleh mahasiswa maupun pembaca umum.
- Relevansi: Pembahasan tentang ekonomi syariah menjadikan buku ini sangat relevan dengan kondisi hukum Islam kontemporer.
Kekurangan Buku
- Masih ada kekurangan teknis dalam penyajian, baik dari segi sistematika maupun detail data historis.
- Aspek praktik hukum modern kurang mendalam dibanding ulasan sejarahnya.
- Gaya bahasa akademis cukup padat sehingga bisa terasa berat bagi pembaca awam.
Secara keseluruhan, buku ini sangat layak dibaca sebagai referensi untuk memahami dinamika peradilan agama di Indonesia. Bagi mahasiswa hukum, sejarah, maupun praktisi, karya ini memberikan dasar pengetahuan yang kuat mengenai hubungan antara hukum Islam, masyarakat, dan negara.