Mohon tunggu...
adisya alfatihah
adisya alfatihah Mohon Tunggu... mahasiswa

saya Adisya Alfatihah mahasiswa semester 4 di UIN Raden Mas Said Surakarta. Sebagai seorang mahasiswa, Adisya selalu berusaha untuk berkembang, baik dalam akademik maupun pengalaman di luar perkuliahan. Dengan semangat belajar yang tinggi, terus mengeksplorasi ilmu dan keterampilan yang bisa menunjang masa depan. Selain fokus pada kuliah, Adisya juga mungkin aktif dalam organisasi atau kegiatan lain yang mendukung pengembangan diri. Dengan perjalanan yang masih panjang, Adisya siap menghadapi tantangan dan meraih impian dengan usaha dan dedikasi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

revwiu skripsi dengan judul analisis yuridis hak mewarisi yang lahir beda agama berdasar uu hukum perdata dan KHI

4 Juni 2025   07:57 Diperbarui: 4 Juni 2025   07:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Analisis Hukum Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam 

1. Konsep Dasar Hukum Waris Islam Hukum waris Islam di Indonesia secara normatif diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan kodifikasi hukum Islam non-formal dan menjadi acuan utama dalam penyelesaian waris bagi umat Islam. Dalam hukum Islam, warisan adalah pemindahan hak milik atas harta peninggalan pewaris kepada ahli waris yang sah. KHI mendefinisikan ahli waris sebagai orang yang saat pewaris meninggal dunia memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. 2. Asas-Asas Waris dalam Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam mengenal beberapa asas penting dalam sistem kewarisan, antara lain: Asas Bilateral (Parental): Tidak membedakan antara kerabat dari garis ayah atau ibu. Asas Individual: Warisan dibagikan kepada individu, bukan kelompok atau keluarga. Asas Ijab Qabul: Pembagian warisan dilakukan setelah adanya kesepakatan atau ijab kabul dari semua pihak yang berhak. Asas Keadilan Relatif: Pembagian disesuaikan dengan ketentuan syar'i dan mempertimbangkan nilai keadilan dalam keluarga. Asas-asas ini mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Misalnya, meskipun anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih banyak dari anak perempuan, hal ini dianggap adil karena kewajiban finansial keluarga berada pada laki-laki. 3. Syarat dan Sebab Waris Menurut KHI Untuk menjadi ahli waris, seseorang harus memenuhi dua syarat utama: Pewaris telah meninggal dunia. Adanya hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Sementara sebab-sebab yang melahirkan hak waris mencakup: Hubungan darah Hubungan perkawinan Adanya pengangkatan anak (dalam konteks wasiat wajibah) Namun, terdapat penghalang warisan, di antaranya: Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Pembunuhan terhadap pewaris oleh calon ahli waris. Keterlibatan dalam kejahatan tertentu terhadap pewaris. Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa "tidak mewarisi seorang Muslim dari orang kafir, dan tidak pula orang kafir dari Muslim," menjadi dasar utama dalam penghalang perbedaan agama. 4. Pembagian Waris Berdasarkan KHI Menurut KHI, ahli waris dibagi ke dalam dua golongan: Ahli Waris berdasarkan hubungan darah, misalnya: anak, orang tua, saudara, kakek-nenek. Ahli Waris berdasarkan hubungan perkawinan, yakni suami atau istri. Jika terdapat semua ahli waris, yang berhak menerima bagian waris hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda (Pasal 174 KHI). KHI juga mengatur ahli waris pengganti melalui Pasal 185, yang menyatakan bahwa jika seorang ahli waris meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka haknya dapat digantikan oleh keturunannya. Namun, bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari yang digantikan. 5. Wasiat Wajibah sebagai Solusi Perbedaan Agama Untuk menjembatani ketentuan penghalang karena beda agama, KHI menyediakan konsep wasiat wajibah. Konsep ini memberikan hak kepada anak angkat atau ahli waris non-Muslim dalam bentuk wasiat paksa meskipun tidak disebutkan dalam surat wasiat. Pasal 209 KHI mengatur bahwa orang tua angkat yang tidak memperoleh bagian warisan dari anak angkat, diberi hak berupa wasiat wajibah sebesar paling banyak 1/3 dari harta warisan. Ketentuan ini diadopsi oleh pengadilan dalam banyak kasus pewarisan beda agama sebagai alternatif solusi yang adil dan konstitusional. 6. Implikasi terhadap Anak dari Perkawinan Beda Agama Dalam konteks anak dari perkawinan beda agama, apabila anak tersebut beragama Islam dan orang tuanya yang meninggal juga Islam, maka anak tersebut berhak menerima warisan. Namun, apabila pewaris berbeda agama dengan ahli waris (misalnya pewaris Muslim dan anak non-Muslim), maka anak tidak berhak menerima warisan secara langsung. Namun demikian, melalui pendekatan keadilan substantif, Mahkamah Agung dan sejumlah pengadilan telah mulai membuka ruang penerapan wasiat wajibah untuk anak beda agama sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai keadilan dan perlindungan anak. 

Dasar Hukum Penghalang Waris dalam Islam 

Dalam hukum Islam, waris diatur berdasarkan prinsip keimanan dan kesatuan akidah. Salah satu prinsip penting adalah bahwa agama menjadi syarat sahnya hubungan pewarisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara eksplisit menyebutkan hal ini dalam Pasal 171 huruf (c), yang menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus sama-sama beragama Islam. Ketentuan ini bukan hanya bersifat administratif, melainkan berakar dari dasar syar'i. Dalil penghalang waris karena perbedaan agama juga ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: "Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam." (HR. Bukhari dan Muslim) Dari hadits ini, dapat dipahami bahwa perbedaan agama merupakan penghalang mutlak (hijab al-mani') dalam pewarisan menurut hukum Islam. Artinya, anak yang tidak seagama dengan pewaris tidak dapat menerima harta warisan secara hukum Islam. 

Konsekuensi Perbedaan Agama dan Pandangan Yuridis 

Perbedaan agama dipandang sebagai penghalang karena dianggap menggugurkan prinsip wala' (loyalitas keagamaan) dalam hubungan kekeluargaan Islam. Dalam sistem hukum waris Islam, hubungan darah tidak cukup bila tidak didasari oleh kesamaan akidah. Oleh sebab itu, meskipun anak adalah keturunan sah, bila berbeda agama dengan orang tua yang meninggal, ia tidak berhak menerima warisan menurut fikih maupun KHI. Pandangan ini dikuatkan oleh: Fatwa MUI No. 5/MUNAS VII/2005, yang menyatakan bahwa ahli waris non-Muslim tidak dapat mewarisi dari pewaris Muslim. SEMA No. 2 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa pengadilan tidak dapat mencatat perkawinan beda agama, karena tidak sah menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Namun dalam praktik, muncul konflik antara hukum normatif Islam dan nilai keadilan substantif, terutama ketika anak-anak tersebut tetap membina hubungan baik dengan orang tua Muslimnya. Pengadilan kemudian mencari solusi hukum lain seperti wasiat wajibah. 

Wasiat Wajibah sebagai Jalan Tengah 

Meskipun ahli waris beda agama secara fikih tidak dapat menerima warisan, dalam praktik yurisprudensi di Indonesia, konsep wasiat wajibah digunakan sebagai solusi moderat. Konsep ini memberi ruang bagi anak (atau kerabat) beda agama untuk menerima sebagian harta peninggalan, bukan sebagai waris tetapi sebagai penerima wasiat yang diwajibkan oleh hakim. Menurut Pasal 209 ayat (2) KHI: "Terhadap anak angkat yang tidak mendapat warisan dari orang tua angkatnya, dapat diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya." Melalui analogi, ketentuan ini kemudian diperluas untuk kasus anak beda agama, terutama dalam praktik Mahkamah Agung. Contohnya: Putusan MA No. 368 K/AG/1995 Putusan MA No. 51 K/AG/1999 Putusan-putusan tersebut menunjukkan bahwa hakim menggunakan asas keadilan dan kemanusiaan untuk memberikan harta melalui wasiat wajibah meskipun perbedaan agama menjadi penghalang waris secara normatif. 

Realitas Sosial dan Urgensi Reformulasi Hukum 

Masyarakat Indonesia yang plural menyebabkan munculnya banyak keluarga lintas agama. Anak dari perkawinan beda agama sering kali tetap memiliki loyalitas, kasih sayang, dan tanggung jawab terhadap orang tua, meskipun agamanya berbeda. Dalam konteks ini, menolak mereka secara mutlak dari hak terhadap harta orang tuanya berpotensi menimbulkan ketidakadilan substantif. Maka, meskipun penghalang waris karena beda agama tetap berlaku secara formil, praktik pengadilan di Indonesia mulai membuka pintu kepada solusi berbasis keadilan progresif. Konsep wasiat wajibah dan interpretasi progresif terhadap Pasal 209 KHI menjadi bentuk akomodasi terhadap perubahan sosial yang dinamis. Namun, agar tidak terjadi konflik antar norma hukum, reformulasi aturan waris yang lebih kontekstual dan adaptif sangat dibutuhkan, baik melalui revisi KHI, fatwa MUI yang lebih terbuka, atau putusan pengadilan yang berpihak pada prinsip keadilan dan perlindungan anak. 

Kesimpulan dan saran 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun