Kisah Ir. Kasmudjo, dosen pembimbing akademik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini terseret dalam gugatan dugaan ijazah palsu, mengundang simpati mendalam.
Di usia senja, sekitar 75 tahun, dengan kondisi kesehatan yang rapuh, bronchitis dan nyeri kaki, Kasmudjo harus menghadapi sorotan publik dan proses hukum yang asing baginya.
Ucapan prihatin dari Jokowi, kunjungannya ke Sleman pada 13 Mei 2025, hingga dukungan Fakultas Kehutanan UGM, menunjukkan bahwa banyak pihak peduli pada kondisi beliau.
Di pundak orang tua, kita belajar berdiri. Ketika mereka lemah, tugas kita adalah menjaga martabat dan ketenangan mereka.
Di media sosial, seperti X, netizen ramai mendoakan kesehatan dan kekuatan Kasmudjo, ini mencerminkan empati masyarakat terhadap seorang pendidik yang kini berada di posisi sulit bin sukar alias rumit.
Namun, di balik simpati ini, ada pertanyaan besar yang tidak bisa diabaikan yaitu kebenaran.
Gugatan terkait ijazah Jokowi, meski kontroversial dan sarat nuansa politik, telah menyeret nama Kasmudjo sebagai pembimbing akademik.
Publik mulai mempertanyakan detail, seperti usia Kasmudjo saat menjadi dosen, tahun pengajarannya di UGM, hingga perannya dalam skripsi Jokowi. Meski beberapa tuduhan terdengar spekulatif, ketidakjelasan fakta justru memicu spekulasi lebih liar.
Kasmudjo, yang mengaku tidak siap menghadapi proses hukum, seolah menjadi korban dari pertarungan narasi yang lebih besar.
Di sinilah dilemanya. Simpati terhadap Kasmudjo sebagai individu yang sudah sepuh dan tidak berdaya di hadapan tekanan hukum harus diimbangi dengan kebutuhan akan transparansi.
Jika tuduhan ini hanya permainan politik, maka Kasmudjo adalah korban yang tidak seharusnya menderita. Namun, kalau ada kejanggalan faktual, publik berhak tahu kebenaran, tanpa mengorbankan martabat seorang pendidik veteran seperti beliau.