Karanganyar, 17 Agustus 2025 -- Dalam rangka memperingati 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin Al Mustainiyyah Surakarta menyelenggarakan kegiatan Bedah Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Tinjauan Fiqih Empat Mazhab. Acara istimewa ini digelar di kawasan wisata Puncak Madirda, Karanganyar, Jawa Tengah.
Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin selama ini dikenal memiliki tiga kekhususan ilmu, yakni: 1. Fiqih Perbandingan mazhab dan Ushul Fiqih, dengan penekanan pada fiqih perbandingan mazhab. 2. Ilmu Tafsir, terutama dalam bidang Tafsir dan qira'at. 3. Ilmu Hadist, dengan kajian kitab-kitab Hadist dan ulumul hadist.
Untuk kegiatan kali ini para santri diajak untuk menganalisis pasal-pasal konstitusi dengan membandingkan prinsip-prinsip hukum Islam dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
KH. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, pengasuh pesantren sekaligus dosen hukum tata negara dan fiqih perbandingan mazhab, menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia dapat dikaji secara akademik melalui perspektif fiqih empat mazhab. "Konstitusi UUD 1945 bukan hanya dasar hukum negara, tetapi juga dapat dilihat sebagai kontrak sosial yang memiliki legitimasi keadilan menurut syariat Islam. Dengan menelaahnya melalui fiqih empat madzhab, kita menemukan titik temu bahwa NKRI dan Pancasila sejalan dengan prinsip Islam yang rahmatan lil 'alamin," paparnya.
"Konstitusi UUD 1945 bukan hanya dasar hukum negara, tetapi juga dapat dilihat sebagai kontrak sosial yang memiliki legitimasi keadilan menurut perspektif syariat Islam. Dengan menelaahnya melalui fiqih empat mazhab, kita bisa menemukan landasan normatif bahwa NKRI dan Pancasila sejalan dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin," tegas KH. Mustain dalam pemaparannya.
"Undang-Undang Dasar 1945 merupakan grundnorm bangsa Indonesia yang menegaskan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Jika ditelaah melalui fiqih siyasah, konstitusi ini tidaklah asing bagi Islam, bahkan selaras dengan nilai-nilai syariat sebagaimana dirumuskan dalam empat madzhab besar. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Prinsip ini sejajar dengan konsep ahlul halli wal 'aqdi dalam madzhab Hanafi. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menegaskan pentingnya lembaga representatif umat untuk melegitimasi kekuasaan. Hal senada disampaikan Imam As-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth, bahwa kekuasaan tidak sah tanpa persetujuan kolektif. Dengan demikian, doktrin demokrasi konstitusional Indonesia memiliki akar yang kuat dalam fiqih siyasah." Lanjutnya.
"Madzhab Maliki memberikan corak berbeda melalui doktrin al-mashalih al-mursalah. Imam Asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menyatakan bahwa tujuan syariat adalah menjaga al-dharuriyyat al-khamsah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. UUD 1945 yang menekankan persatuan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat dapat dipandang sebagai realisasi nyata dari maqashid syariah. Dalam bahasa hukum modern, hal ini disebut sebagai rule of law with social justice orientation. Sedangkan Madzhab Syafi'i menekankan pentingnya otoritas ulama dan qadhi sebagai penjaga hukum syar'i. Imam Syafi'i dalam Al-Umm menegaskan bahwa qadhi berperan memastikan hukum berjalan sesuai tujuan syariat, sementara Imam Ar-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj menekankan pengawasan terhadap penguasa. Fungsi ini paralel dengan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution, yang menjaga agar kekuasaan tidak keluar dari jalur UUD 1945." Kata Kyai Muda yang juga menjabat sebagai Pengurus LPBH PWNU Jawa Tengah ini.
"Mazhab Hanbali, sebagaimana dikemukakan Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni, menegaskan ketaatan kepada pemimpin selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Prinsip ini identik dengan asas supremacy of law dalam negara hukum modern: kekuasaan wajib tunduk pada hukum, dan rakyat tidak boleh dipaksa menaati aturan yang bertentangan dengan konstitusi. Dari analisis perbandingan ini, tampak jelas bahwa UUD 1945 dapat dipahami sebagai social contract yang sejalan dengan maqashid al-syari'ah. Kedaulatan rakyat, kemaslahatan, pengawasan ulama, dan ketaatan bersyarat pada pemimpin semuanya merupakan prinsip universal yang dikenal dalam khazanah Islam." Pungkasnya.
Lebih jauh, Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin Solo menegaskan komitmen kuat terhadap hubbul wathan (cinta tanah air) dan nasionalisme. Para santri tidak hanya diajarkan ilmu fiqih perbandingan mazhab, Hadist dan Tafsir tetapi juga ditanamkan kesadaran kebangsaan, bahwa mencintai Indonesia merupakan bagian dari menjaga amanah Allah. Melalui kajian UUD 1945 dari perspektif fiqih, pesantren ini meneguhkan peran strategis santri: menjadi ahli agama sekaligus warga negara yang bertanggung jawab.
Kyai Mustain Nasoha menegaskan dalam forum Bedah UUD 1945 dalam Tinjauan Fiqih Empat Madzhab di Puncak Madirda Karanganyar:
"Konstitusi Indonesia bukanlah dokumen asing bagi Islam. Mazhab Hanafi menekankan legitimasi melalui ahlul halli wal 'aqdi, Mazhab Maliki menekankan maslahah, Mazhab Syafi'i memberi peran besar pada ulama, dan Mazhab Hanbali menekankan ketaatan selama tidak bertentangan dengan syariat. Maka, UUD 1945 sejalan dengan prinsip fiqih yang rahmatan lil 'alamin."
Dengan demikian, UUD 1945 dan fiqih empat mazhab tidak berjalan dalam dua jalur berbeda, melainkan saling menguatkan. Keduanya bertemu pada titik maslahah, keadilan, dan kedaulatan rakyat yang bermuara pada terciptanya masyarakat adil, makmur, dan bermartabat.
Acara yang diikuti oleh ratusan santri dan asatidz ini berlangsung khidmat sekaligus penuh antusiasme. Para peserta diajak mendiskusikan pasal-pasal penting dalam UUD 1945, seperti tentang kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan sistem pemerintahan, serta relevansinya dengan kaidah fiqih klasik. Para peserta mengianp 3 hari di Villa Moonvill Madirda.
Selain sebagai bentuk refleksi akademik, kegiatan ini juga menjadi bagian dari syiar kebangsaan. "Kami ingin menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya berkutat pada kitab kuning semata, tetapi juga turut berkontribusi dalam penguatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan melalui pendekatan fiqih, kami juga mengadakan upacara bendera dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 80 disini." ujar salah satu panitia pelaksana Ustadz Hadziq Maftuh.
Dalam kesempatan itu, Ust. Wassim Ahmad Fahruddin, selaku pemilik Villa di kawasan Puncak Madirda yang digunakan sebagai lokasi acara, menyampaikan rasa syukur dan apresiasinya.
"Kami merasa terhormat dan bahagia bahwa villa ini dapat menjadi tempat berlangsungnya acara penting dalam rangka memperingati 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Apalagi tema yang diangkat adalah Bedah UUD 1945 dalam perspektif fiqih empat madzhab, yang tentu sangat relevan untuk menguatkan semangat kebangsaan sekaligus memperdalam pemahaman keagamaan. Semoga kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi para santri, tetapi juga menjadi inspirasi bagi masyarakat luas bahwa cinta tanah air dan pemahaman agama harus berjalan seiring, bukan dipertentangkan," ujar Ust. Wassim.
Beliau juga menegaskan komitmennya untuk terus mendukung kegiatan-kegiatan pendidikan, keilmuan, dan kebangsaan.
"Kami berharap tempat ini bisa senantiasa menjadi ruang bagi majelis ilmu, diskusi kebangsaan, dan penguatan ukhuwah. Karena pada dasarnya, cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan menjaga NKRI sama artinya menjaga amanah Allah SWT," tambahnya.
Dengan berlatar keindahan alam Puncak Madirda, acara ditutup dengan doa bersama untuk keselamatan bangsa dan keberkahan perjalanan Indonesia menuju satu abad kemerdekaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI