Pagi itu, di sebuah sekolah dasar di pedalaman Nusa Tenggara Timur, seorang guru datang dengan wajah lelah tapi bersemangat. Ia membawa laptop tuanya untuk mengajar materi "Projek Profil Pelajar Pancasila" dalam Kurikulum Merdeka. Sayangnya, koneksi internet nyaris tak ada, dan listrik padam sejak subuh. Sementara di kota besar seperti Bandung atau Jakarta, murid-murid sedang belajar menggunakan video interaktif, aplikasi pembelajaran digital, bahkan simulasi sains berbasis kecerdasan buatan. Dua potret yang kontras ini seakan menyentil kita: apakah benar pendidikan kita sudah "merdeka"?
Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai langkah progresif untuk menghapus sistem belajar yang kaku dan menumbuhkan kreativitas siswa. Dalam konsepnya, kurikulum ini ingin memerdekakan guru dari tekanan administratif dan memberi ruang bagi anak untuk berpikir kritis. Namun, di lapangan, semangat itu justru berbenturan dengan kenyataan sosial yang tidak merata.
Dari kacamata sosiologi pendidikan, kebijakan ini memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan masih dipengaruhi oleh struktur sosial yang timpang. Pierre Bourdieu menyebut pendidikan sering menjadi alat "reproduksi sosial" di mana kelompok yang memiliki modal ekonomi, sosial, dan budaya akan selalu diuntungkan. Di Indonesia, hal ini terlihat jelas. Sekolah di kota dengan fasilitas lengkap mudah menerapkan pembelajaran digital, sementara sekolah di desa justru kebingungan mencari sinyal. Anak-anak dari keluarga mampu bisa ikut les daring, sementara anak dari keluarga sederhana hanya bisa mengandalkan buku pinjaman sekolah.
Sebuah penelitian Universitas Airlangga tahun 2023 bahkan menunjukkan bahwa penerapan Kurikulum Merdeka belum merata. Banyak guru di daerah tertinggal mengaku kesulitan memahami modul, kekurangan perangkat, dan tidak memiliki akses pelatihan yang memadai. Artinya, alih-alih menyatukan kualitas pendidikan nasional, kebijakan ini justru berpotensi memperlebar jarak antara sekolah maju dan sekolah yang tertinggal.
Dari sisi antropologis, pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya dan nilai-nilai lokal. Di banyak daerah, persepsi masyarakat terhadap sekolah masih sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan tradisi. Misalnya, di beberapa komunitas nelayan dan petani, anak-anak sering berhenti sekolah karena dianggap lebih baik membantu orang tua di ladang atau di laut daripada belajar hal-hal yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menyentuh akar budaya masyarakat. Kurikulum seringkali dirancang dari pusat tanpa mempertimbangkan konteks sosial di daerah. Padahal, pendidikan yang efektif seharusnya berangkat dari kehidupan nyata siswa, dari bahasa, kebiasaan, dan cara berpikir masyarakat setempat. Ketika sekolah menjadi "asing" di mata siswa, maka proses belajar akan kehilangan maknanya.
Dalam kerangka antropologi pendidikan, guru memiliki peran penting sebagai jembatan antara nilai lokal dan kebijakan nasional. Namun sering kali, mereka justru terbebani oleh sistem dan administrasi yang tidak relevan dengan kondisi sosial di lapangan. Banyak guru ingin berinovasi, tetapi terbentur pada keterbatasan sarana dan tuntutan yang tidak realistis.
Selain persoalan sosial dan budaya, ada juga dimensi politik dalam setiap perubahan kurikulum. Setiap kebijakan pendidikan selalu membawa kepentingan tertentu, baik ekonomi, birokrasi, maupun ideologis. Kurikulum Merdeka lahir dari semangat modernisasi, tetapi penerapannya belum sepenuhnya memperhitungkan kesenjangan struktural. Sekolah yang memiliki akses pada sumber daya besar seperti dana BOS tambahan, jaringan donatur, atau kerja sama dengan swasta lebih siap beradaptasi. Sebaliknya, sekolah kecil di pelosok hanya menjadi penonton dalam "kompetisi kemajuan" yang tidak seimbang.
Namun, bukan berarti Kurikulum Merdeka sepenuhnya gagal. Gagasannya tentang "merdeka belajar" tetaplah sebuah langkah maju. Hanya saja, semangat kemerdekaan ini belum disertai dengan keadilan sosial yang nyata. Kita perlu memahami bahwa kemerdekaan belajar tidak akan tercapai jika masih ada anak yang belajar tanpa listrik, tanpa internet, bahkan tanpa guru tetap.
Pemerintah harus melakukan pemetaan ulang terhadap kesiapan daerah, terutama dari segi infrastruktur dan dukungan sosial. Kurikulum seharusnya tidak diseragamkan, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan dan budaya lokal. Di sinilah pentingnya ruang bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum berbasis kearifan lokal agar anak-anak belajar sesuatu yang relevan dengan lingkungan mereka. Selain itu, guru perlu didukung secara berkelanjutan, bukan hanya diberi pelatihan sesaat. Mereka harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan, karena mereka yang paling tahu kondisi riil di lapangan. Masyarakat dan orang tua juga perlu ikut mengawasi, agar pendidikan tidak sekadar menjadi proyek birokrasi, tetapi benar-benar menjadi sarana pemberdayaan sosial.Â
Akhirnya, pendidikan yang "merdeka" bukan hanya tentang mengganti kurikulum atau metode belajar. Ia harus menjadi alat untuk memutus rantai ketimpangan dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas budaya sendiri.