Mohon tunggu...
ADI PUTRA (Adhyp Glank)
ADI PUTRA (Adhyp Glank) Mohon Tunggu... Saling follow itu membahagiakan_tertarik Universalitas, Inklusivitas dan Humaniora, _Menggali dan mengekplorasi Nilai-nilai Pancasila

-Direktur Forum Reproduksi Gagasan Nasional, -Kaum Muda Syarikat Islam, - Analis Forum Kajian Otonomi Daerah (FKOD), - Pemuda dan Masyarakat Ideologis Pancasila (PMIP), -Penggemar Seni Budaya, Pemikir dan Penulis Merdeka, Pembelajar Falsafah Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menakar Gerakan Politik Budaya Fasis Sunda melalui pendekatan sejarah perjalanan Sinkretisme Budaya Agama

25 Mei 2025   06:30 Diperbarui: 25 Mei 2025   14:51 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Pengikut, Sumber : Kompasiana.com

"Gunung sebagai Medan Kuasa: Narasi Ziarah, Politik, dan Sinkretisme dalam Alpinisme Katolik dari Abad Pertengahan hingga Modern"

Sejak Abad Pertengahan, pegunungan di Eropa bukan sekadar bentang alam, melainkan ruang sakral yang mempertemukan manusia dengan yang ilahi. Gunung Sinai, tempat Musa menerima Sepuluh Perintah Tuhan, dan Gunung Tabor, lokasi transfigurasi Yesus, menjadi fondasi imajinasi Kristen tentang pegunungan sebagai "axis mundi" poros kosmis yang menghubungkan bumi dan surga (Le Goff, 1988). Praktik ziarah ke puncak seperti Gunung Athos (Yunani) atau Monte Cassino (Italia) mencerminkan asketisme yang menganggap pendakian sebagai jalan penyucian diri (Broc, 1991). Namun, pandangan ini berubah drastis pada abad ke-17, ketika teori geologi-teologis Thomas Burnet dalam "Sacred Theory of the Earth" (1681) menggambarkan pegunungan sebagai "sampah bumi", sisa kekacauan air bah yang menjadi bukti kejatuhan moral manusia (Nicolson, 1997).

Revolusi ilmiah abad ke-18 membalikkan narasi itu. Abb Pluche, dalam "Le Spectacle de la Nature" (1737--1750), menafsirkan pegunungan sebagai mahakarya Tuhan yang menyediakan air, mineral, dan keindahan estetis (Giacomoni, 2001). Perdebatan ini tidak hanya mengubah persepsi alam, tetapi juga membuka jalan bagi Gereja Katolik untuk mengubah gunung menjadi alat pendidikan moral. Pada pertengahan abad ke-19, di tengah gelombang sekularisasi pasca-Revolusi Industri, Gereja di Italia mulai menginstitusionalisasi pendakian sebagai "proyek disiplin sosial". Antonio Stoppani, pendeta dan geolog, mempromosikan pendakian sebagai sarana membentuk karakter melalui kesulitan fisik dan kontemplasi alam (Cuaz, 2005a). Klub seperti "Club Alpino Italiano" (1863) didirikan dengan misi ganda diantaranya eksplorasi ilmiah dan penanaman nilai Katolik melalui kerja tim dan doa (Armiero, 2011).  

Namun, abad ke-20 mengubah alpinisme menjadi alat politik. "Austrian Alpine Club", yang didirikan tahun 1862 untuk eksplorasi ilmiah oleh geolog Eduard SueB, direbut oleh gerakan nasionalis Jerman (Deutschnationalismus) pada 1890-an.

Pegunungan Alpen diromantisasi sebagai "ruang budaya Jerman", sementara kebijakan "Arierparagraph" (1921) mengusir anggota Yahudi dari klub sebagai cerminan antisemitisme yang dipropagandakan Karl Lueger (Cuaz, 2005a). Di Italia, rezim Mussolini (1922--1943) memanfaatkan Alpinisme Katolik untuk membangun mitos "uomo nuovo" (manusia baru). Pendakian diintegrasikan ke dalam latihan militer "Opera Nazionale Dopolavoro" (1925), sementara Gereja berkolaborasi dengan rezim untuk memadukan simbol salib dengan retorika kejayaan Romawi kuno (Giacomoni, 2001; Kertzer, 2014).  

Pasca-Perang Dunia II, Alpinisme Katolik kehilangan daya politiknya. Namun, warisannya hidup dalam gerakan lingkungan modern. Organisasi seperti "Mountain Wilderness" (1987) mengadopsi etika Kristen tentang penata layanan alam, sementara jalur ziarah kuno seperti "Via Francigena" dipugar sebagai warisan budaya (Schama, 1995). Sinkretisme agama tetap terasa seperti di Montserrat (Spanyol), salib di puncak gunung berdiri di atas situs pemujaan pagan, mengingatkan pada strategi Gereja Abad Pertengahan yang mengadaptasi budaya lokal untuk memperkuat hegemoninya (Fer-Razza, 2004).  

Dari ziarah abad ke-10 hingga propaganda fasis, pegunungan menjadi medan pertarungan antara sakral dan sekuler. Alpinisme Katolik bukan sekadar ritual religius, melainkan instrumen kuasa yang merefleksikan pergulatan Gereja untuk bertahan di tengah perubahan zaman. Di puncak gunung, salib dan swastika pernah bersaing, tetapi yang tersisa kini adalah warisan ambivalen tentang disiplin yang berpadu dengan kebebasan, iman yang berbaur dengan politik seperti sebuah cermin retak dari sejarah Eropa yang kompleks.

 

Daftar Referensi

1. Armiero, M. (2011). A Rugged Nation : Mountains and the Making of Modern Italy.

2. Broc, N. (1991). Les montagnes au sicle des Lumires.

3. Cuaz, M. (2005a). Le Alpi: Il buon uso della natura.

4. Fer-Razza, L. (2004). .Sacri monti e dintorni.

5. Giacomoni, P. (2001). Il paesaggio alpino nell'et moderna.

6. Kertzer, D. (2014). The Pope and Mussolini.

7. Le Goff, J. (1988). "The Medieval Imagination".

8. Nicolson, M.H. (1997). Mountain Gloom and Mountain Glory.

9. Schama, S. (1995). Landscape and Memory.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun