Mohon tunggu...
Adi Nursyamsu S.
Adi Nursyamsu S. Mohon Tunggu... Human Resources - Human Resourch Depelovement

Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM 2011 dan bekerja sebagai Supervisor Human Resourch (HRD) disalah-satu perbankan swasta Sulawesi-Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anugerahku: Keluargaku

18 Juni 2013   16:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:49 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sebuah anugerah terlahir dalam keluarga ini, begitu banyak warna yang hadir disetiap langkah hidup saya, tersaji membawa kenangan yang tak mungkin dapat terlupakan. Kisah ini merupakan pengalaman yang paling berharga dalam hidup saya, membawa dalam kehangatan yang begitu nikmat dan saya yakin takkan berkata rugi terlahir dalam keluarga yang begitu indah ini”
--------------------------------------------------------------------------------------------¬¬¬¬¬¬¬¬------------
Sudah enam tahun lamanya, masih teringat jelas dalam rentetan memori di otakku, yang berbaur menjadi satu membentuk harmoni kehidupan. Ketika itu saya masih duduk dibangku SMP, tepatnya saya bersekolah di SMP Negeri 1 Maros yang terletak kurang lebih 5 km dari kediaman saya. saya adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara dimana saudara pertama saya merupakan anak perempuan satu-satunya yang melanjutkan studi bahasa Inggrisnya di Universitas swasta di Makassar, Dia biasanya saya panggil dengan sebutan Ira, sedangkan saudara saya yang satunya merupakan seorang musisi yang menempuh kuliah di Universitas yang sama dengan saya sekarang dan mengambil jurusan seni rupa.
Setiap harinya seperti kebanyakan keluarga lainnya sebagian waktu kami habiskan pada kegiatan masing-masing, ayah dan ibu sibuk mencari nafkah dan saya serta saudara saya sibuk dengan sekolah dan kuliah masing-masing, itu kami lakukan dari pagi hingga menjelang sore, tapi berbeda dengan kami ayah saya biasanya bekerja dari pagi hingga malam menjemput.
Bulan itu rasanya memang berbeda dari pada yang sebelum-sebelumnya dimana keluarga kami memiliki nafkah lebih untuk membangun rumah yang kami tinggali, kegiatan kami lakukan seperti biasa sesekali saya melihat ayah membantu para kuli bangunan dalam mengerjakan tugas-tugas mereka, ayah saya memang pribadi yang sangat tekun, ada-ada saja hal baru yang ia kerjakan ditiap harinya sewaktu libur ataupun berada dirumah.
Sepulang sekolah setiap harinya saya menggunakan kendaraan umum sebagai trnsportasi saya untuk pulang kerumah. Makan siang dan kemudian disore harinya bermain sepakbola. Dulu bisa dibilang saya merupakan anak yang cukup berbakat, dimasa SMP saya sudah dapat menguasai berbagai alat musik daerah maupun modern, disamping itu saya juga mampu melukis dan memiliki bakat olahragawan.
Hari itu berbeda dari biasanya, kebetulan mungkin karena hari itu adalah hari minggu lantas rumah menjadi sepi. Tapi minggu yang lalu rasanya berbeda, hari ini memang dari pagi hingga sore saya menghabiskan waktu dirumah sepupu yang seperumahan dengan saya. Saya langsung menghampiri kakak saya yang sedang berbaring dikamarnya.
“Ira mana ibu sama bapak?”
Dengan air mata yang menetes kecil dipipinya dia dengan sulit menjawab.
“ketakalarki dek, tapi ibu sakitki disana jadi nda bisa pulang”.
Seperti kebanyakan anak yang masih kecil masih jelas teringat saya hanya terdiam sejenak dan melanjutkan pembicaraan.
“jadi besok nda kesekolahka?”.
“Iya dek besok mau om jemputki sama dian”.
“oh iya padeng”.
Malam hari tepat setelah magrib telepon rumah saya layak operator seluler, bisa dibilang tiap setengah jam pasti berdering, itu adalah telepon dari keluarga jauh saya yang mengetahui kabar orang tua saya yang sakit, katanya ibu saya sudah masuk di ruang UGD RS Wahidin. Seketika saya membayangkan bagaimana parahnya penyakit ibu saya. Saya dan kedua saudara saya waktu itu hanya bisa menunggu hingga pagi datang sebelum akhirnya kami memutuskan kesana.
Setiba disana saya langsung menuju ruang UGD, dan bertanya kepada beberapa suster disana. namun ternyata ibu saya sudah dipindahkan ke ruang Palem kamar 3. Didepan pintu saya sudah ditunggu oleh ayah saya, kami bertiga langsung menuju ibu kami yang terbaring dengan impus ditangan kiri dan kanannya. Saya tak tahu ibu saya sakit karna apa tapi yang terlihat ibu saya sangat kurus, hanya kulitlah yang membalut tulangnya, saya memeluk ibu saya bersama dengan kedua saudara saya, memang saya masih kecil waktu itu tapi jujur ini adalah air mata pertama yang saya jatuhkan untuk ibu saya, biasanya saya adalah anak yag bandel yang menuntut untuk dipenuhi keinginannya dengan merengek-rengek, tapi baru kali ini kurasakan seperti ini.
“sudah-sudah janganmi nangis nak, baik-baikja” Sapa ibu saya.
Kakak perempuan saya masih memeluk ibu saya, disapunya air matanya oleh ibu saya. Ayah saya memeluk saya dan kakak laki-laki saya dari belakan.
“Sakit apaki?” Tanya saya.
“tidakji sakit biasaji?” Jawab ayah saya.
Hari itu bisa dibilang sebagian besar keluarga saya datang untuk menjenguk ibu saya yang sakit, bahkan banyak dari mereka yang memilih nginap bersama dengan kami di RS. Kebetulan waktu itu nenek saya baru datang dari kampung, dia memilih untuk nginap bersama anak kesayangannya yah itu adalah ibu saya. Tapi, karena suasana yang tidak baik di RS untuk nenek saya maka kami sekeluarga memutuskan untuk membagi waktu jaga kami. Untuk hari pertama kakak laiki-laki saya dian dan ayah saya yang bertugas, selebihnya saya dan kakak perempuan saya bertugas menjaga nenek saya dirumah. Itu kami lakukan kurang lebih selama dua minggu hingga saya harus ke sekolah dari RS Wahidin yang kurang lebih 17 Km dari sekolah saya.
Hari itu merupakan hari jaga dian dan ayah saya, saya berada dirumah beserta nenek dan kakak saya. Saya masih ingat hari itu adalah hari jumat tepat pukul 10 malam tiba-tiba telepon berdering, alangkah kagetnya kami telpon itu berasal dari RS Wahidin, operator kamar UGD yang mengabarkan ayah dan kakak saya kecelakaan sepulang dari RS. Entah apa yang harus kami lakukan hingga kakak saya memutuskan mengabarkannya kepada tetangga saya. Tepat malam itu pukul 11 malam saya dan kakak saya diantar oleh tetangga saya menuju RS Wahidin, dimana waktu itu nenek saya dijaga oleh tetangga saya.
Sesampainya dikamar UGD saya, kakak serta tetangga saya mencari ruangan dian dan ayah saya. Kurang lebih 5 menit kami mencari, saya bertemu dengan pa’de yang telah lebih duluan datang kesana dari kami, ternyata kakak saya mengalami memar pada ginjalnya, sedangkan ayah saya baru saja melewati operasi karena mengalami luka dalam paru-parunya. Entahlah mimpi apa yang saya alami, tapi malam itu semua keluarga saya baik yang jauh maupun dekat memutuskan menuju RS Wahidin menemani keluarga kami yang ditimpah musibah yang besar.
Kami sekeluarga memutuskan untuk merahasiakan kejadian ini kepada ibu saya yang masih dirawat pula di RS ini. Malam itu saya ditugskan menuju kamar ibu saya mengambil sarung untuk digunakan ayah dan kakak saya. Seperti layaknya pencuri dimalam hari, sebelum masuk kekamar ibu saya, terlebih dahulu saya menghubungi sepupu saya yang bertugas menjaga ibu saya. Katanya ibu saya sudah tidur, maka saya bergegas masuk kekamar, tiba-tiba ibu saya terbangun , dilihatlah saya dan dua lipatan sarung yang telah saya pegang dalam genggamanku.
“Kenapa datang adi?” tanya ibu saya.
Sambil tebata-bata saya menjawab,
“hmmm tidakji bu’ disuruhja ambil sarung ada keluarganya pa’de hadi masuk RS barusan.”
Kebetulan pas moment itu saya teringat kata pa’de saya katanya ada keluarga dia yang barusan masuk di RS Wahidin juga. Da jawaban saya juga pasti tidak salah, ayah saya juga keluarga dia kan.
“oh.. iya hati-hati, sama sapa kesini nak?” tanya ibu saya.
Saya sudah tidak tahu mau menjawab apa maka dari itu saya hanya bilang ke ibu saya. “sebentarpi kembalija itu, buru-buruka bu’.” Tegasku.
Sekedar info, untuk menuju ruang UGD dari ruang palem yang ditempati oleh ibu sama dengan jarak terjauh antar ruangan disana, harus melewati semua ruang perawatan bahkan kamar mayat sekalipun. Malam itu ada dua orang yang tak bernyawa lewat disamping saya di antar oleh isak tangis keluarganya. Saya hanya jalan sendiri, sambil bernyanyi untuk menyembunyikan ketakutanku.
Di ruang UGD saya sudah ditunggu oleh seluruh keluarga yang baru datang, dia menanyakan tentang kabar ibuku. Yah kujawablah dengan sejujurnya. Saya menceritakan pengalaman tadi ketika ibuku terbangun. Saya disuruh oleh ayahku menemani ibu di palem karena itu untuk lebih meyakinkan ibuku bahwa tidak terjadi apa-apa.
Dibenakku masih terbayang muka mayat yang lewat tadi, kulihat lorong sangat sepi hingga kuharus berlari menuju kamar ibu saya. Jujur malam itu juga adalah malam pertama saya melihat apa yang tak seharusnya saya lihat, yang lebih bodoh lagi mungkin rasa penasarankulah yang membuat saya melihatnya. Dikamar mayat yang kulalui terlihat samar-samar dijendela hingga ku putuskan berhenti dan memperhatikannya. Alangkah kagetnya saya melihat banyangan seperti pocong, entahlah itu nyata ataukah tak nyata, yang pastinya saya berlari sekencang-kencangnya menuju kamar ibu saya. Hingga sesampai dikamar, ternyata ibu dan sepupu saya sudah tertidur, saya memutuskan untuk tidur pula dibalik ketakutan saya hingga saya harus berkeringat dingin.
Pagi hari saat masih tertidur lelap ternyata sebagian keluarga besar saya sudah berada di kamar ibu saya. Setelah cuci muka saya langsung menuju ruang UGD tempat ayah dan kakak saya dirawat. Ternyata ayah saya harus segera di operasi karena mengalami gangguan pada paru-parunya hingga dia harus mengeluarkan darah ketika batuk. Dari pukul 10 hingga 2 siang ayah saya berada diruang operasi. Ibu saya yang tidak tahu kejadian tersebut hanya dirahasiakan bahwa dian kakak laki-laki saya sedang sakit dirumah jadi ayah saya bertugas menjaganya.
Operasi berjalan dengan lancar, kesyukuran bagi kami keluarga besarnya. Tante saya bahkan mengeluarkan tangisnya dengan tersendu-sendu mengetahui nasib dari keluarg kami. Bahkan saya sebagai anak bungsu dipeluknya hingga saya harus menahan sesak karna pelukan yang lumayan cukup kencang darinya. Saya masih ingat nasehat dari tante kakak dari ayah saya.
“Sabar nak, Allah takkan memberikan cobaan lebih dari batas kemampuan hambanya. Semua punya hikmah, kita sebagai manusia hanya diperuntukkan untuk mencoba sebagaimana mestinya dan berusaha semaksimal mungkin.” Tegasnya kepada saya.
Setelah operasi ayah dan kakak saya ditempatkan ruang gedung yang sama dengan ibu saya namun letak kamarnya berada dilantai atas kamar ibu saya. Ayah saya masih mengalami proses pembersihan dimana dibagian kanannya terletak sebuah botol yang berisikan darah kotor yang disaring dari paru-parunya. Mungkin itu adalah awal hingga saya mengalami fobia darah. Terlebih lagi ibu saya mengalami kekurangan darah hingga dia harus di imfus dengan darah.
Setiap harinya saya beralasan untuk dapat menemui ayah dan kakak saya dikamar atas.
“bu’ mauka pergi kasih makan ikan dulu nah?” tanyaku.
“oh iya nak, itu ada roti yang tidak habis, kasi ikan saja” jawab ibu.
Gedung tempat ibu saya dirawat memang memiliki kolam ikan yang berada didepannya. Sesekali apabila saya bosan dengan suasana bau obat-obatan saya menempatkan diri saya disekitar kolam tersebut. Alasan itu menjadi alasan utama saya setiap harinya jikalau menemui kakak dan ayah saya.
Seminggu setelah ayah dan kakak saya dirawat di RS Wahidin. Keluarga jauh saya yang berasal dari palopo datang, dia hanya tahu bahwa ibu, ayah dan kakak saya dirawat di RS ini, namun dia tidak tahu momen dan rahasia apa yang telah kami buat bersama. Ini adalah momen yang paling tidak bisa saya lupakan, dibukanyalah pintu kamar ibu saya.
“Asslamualaikum, bagaimanami bu’?” tanya tante saya yang baru datang dengan nada sedih.
“Waalaikum salam. Alhamdulillah lumayan baikmi,” jawab ibu saya.
“Saya dengan bapak kecelakaan di’ juga?”
Entahlah apa yang saya dan keluarga saya harus perbuat, dalam diam ibu saya hanya menangis mengeluarkan air matanya, derai airnya tak tertahankan lagi sesekali dia hanya merunduk, ruangan yang awalnya berisi tawa dan canda untuk menghibur ibu saya kini berubah seketika. Ibu saya masih menangis, saya dan kakak saya memeluknya, bahkan suster, keluarga bahkan pasien lainpun ikut menangisi takdir dari keluarga saya. Mungkin ini cobaan terberat bagi keluarga saya. Pa’de saya menenangkan ibu saya dengan mengabari bahwa ayah dan kakak saya baik-baik saja.
Tepat pagi itu ayah saya di antar kekamar ibu saya menggunakan kursi roda. Kami sekeluarga berkumpul dalam satu ruangan dan berbaur. Ayah memeluk ibu saya dengan sangat erat, tangisannya sungguh menyentuh, kerinduan yang selama ini terpendam akhirnya dapat terobati. Kakak saya ikut pula berbaur dalam keheningan ruangan ini, hanya isak tangis yang terdengar, ini bukan sebuah drama tapi percayalah ini adalah kenyataan hidup saya.
Setelah sebulan lamanya kami berada di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, sudah banyak pengalaman yang saya dapatkan, ini adalah rumah saya selama sebulan satu minggu. Saya sudah hafal jalan maupun segala ruangannya. Kini kami sudah melewati tantangan tersebut, ibu saya sudah sehat bersama dengan ayah dan kakak saya.
“Kebersamaan adalah obat segala rindu. Terimakasih untuk keluarga saya tercinta, kalian telah mewarnai hidup saya”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun