Mohon tunggu...
Adi Lagaruda
Adi Lagaruda Mohon Tunggu... -

Tau Battu ri Bone Lassuka ri Gowa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Pahlawan Indonesia" Seberang Lautan

24 Agustus 2010   11:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.

Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.

Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan....budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sultan Sirajuddin Tumenanga ri Passiringanna (1711-1724).

Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa membujuknya pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.

Di Bima, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terus mematai-matai Sultan Fakhruddin. Ia dituduh berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut 'Cella Bangkahulu' yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya yang tampaknya dimaksudkan untuk menentang monopoli dagang Belanda di Nuantara bagian timur.

Pada suatu hari, masih di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon (Sarandib atau Langkapuri). Pada tahun itu juga Sultan Fakhruddin (mungkin bersama istrinya, Siti Hapipa) sampai di Colombo, ibukota Ceylon, negeri pembuangan.


Hidup di tanah pembuangan yang jauh dari tanah tumpah darah sendiri mungkin telah menyiksa batin keluarga Sultan Fakhruddin. Namun di Ceylon Siti Hapipa melahirkan banyak anak seperti marmut. Ia mencatat dalam sepucuk surat beraksara Jawi yang ditulisnya di Colombo tanggal 3 Januari 1807 bahwa anaknya duabelas orang (6 lelaki, 6 perempuan). Surat itu saya temukan baru-baru ini di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda (Kompas, 11&14/8/2008; Jurnal Wacana 10.2, 2008: 214-45).

Rupanya Sultan Fakhruddin punya seorang istri lagi yang sudah diceraikannya. Wanita yang tidak diketahui namanya itu memberinya seorang anak lelaki. Dialah yang bernama Karaeng Sangunglo. Kelak anak itu menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di Ceylon.

Seperti kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon, Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang dibentuk Belanda (yang kemudian bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah dilikuidasi Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima, kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya bangsa Timur.

Dalam serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka ditarik menjadi anggota pasukan pengawal Istana  Kandy. Karaeng Sangunglo dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy (the Kandyan Malays) yang nenek moyang mereka berasal dari Nusantara.

Enam saudara tiri Karaeng Sangunglo—Karaeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddin—juga ikut dalam Resimen Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Tuan-tuan Eropanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun