Penggilingan menggunakan alat manual hingga menjadi bubur halus.
Perebusan untuk memisahkan sari kedelai.
Pencetakan tahu dengan cetakan kayu sederhana.
Penggorengan dalam minyak panas menggunakan teknik khusus agar kulit luar tahu mengembang sempurna.
"Kami mempertahankan metode tradisional ini karena mesin modern tidak bisa menghasilkan tekstur dan rasa yang sama," ungkap Pak Dedi sambil memperlihatkan dapur produksinya.
Setiap hari, beliau memproduksi antara 500 hingga 800 potong tahu, sebagian dijual di warung sendiri, sebagian lagi didistribusikan ke pasar-pasar tradisional di sekitar Sumedang.
Meskipun popularitas tahu Sumedang terus bertahan, bukan berarti perjalanan usaha ini tanpa rintangan. Pak Dedi mengungkapkan beberapa tantangan yang kerap dihadapi:
Harga kedelai yang tidak stabil karena bergantung pada pasokan impor.
Kompetisi dari produsen tahu lain, termasuk tahu-tahu instan yang kualitasnya kadang kurang terjaga.
Perubahan gaya hidup generasi muda yang lebih menyukai makanan cepat saji.
Namun, semangat untuk mempertahankan warisan kuliner ini tetap membara.