Ada yang menarik setiap kali kita membaca karya atau teks yang lahir ratusan tahun lalu: ia selalu terbuka untuk multitafsir. Dari kitab kuno di Timur Tengah, epos India seperti Mahabharata, hingga naskah-naskah Nusantara seperti Babad Tanah Jawi atau Serat Centhini, semuanya tidak pernah berhenti memancing tafsir baru.Masalahnya, teks lama tidak pernah netral. Ia lahir dari zamannya, membawa kepentingan, simbol, bahkan bahasa yang mungkin asing bagi kita sekarang. Maka wajar kalau pembacaan hari ini sering berbeda dengan maksud penulisnya dahulu.
Contoh sederhana, Babad Tanah Jawi. Sebagian orang membacanya sebagai catatan sejarah Jawa, sebagian lain melihatnya sebagai karya sastra bercampur mitologi. Lalu, apakah ia sejarah yang “benar”? Ataukah dongeng yang ditulis untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja Mataram? Semua tafsir itu bisa berdiri sekaligus, tergantung siapa yang membaca.
Fenomena ini sebenarnya sehat. Multitafsir membuka ruang dialog lintas generasi. Namun, kadang multitafsir juga bisa berbahaya bila dipakai untuk legitimasi politik atau pembenaran tindakan tertentu. Misalnya, ayat atau petikan teks lama dipotong sesuai selera, lalu dipakai untuk menguatkan pendapat pribadi.
Di sisi lain, ada keindahan dalam membaca teks lama. Ia memberi kesempatan bagi kita untuk bercermin. Apa yang kita tafsirkan sering kali justru menunjukkan siapa diri kita hari ini, bukan sekadar siapa penulisnya dahulu. Membaca teks tua berarti membaca diri sendiri melalui kaca buram sejarah.
Mungkin itu sebabnya karya lama tak pernah benar-benar “selesai”. Ia seperti sumur dalam: siapa pun boleh menimba, tapi hasilnya bergantung pada wadah yang kita bawa.
Lalu pertanyaannya, beranikah kita membaca teks lama dengan rendah hati, menyadari bahwa tafsir kita hanyalah salah satu dari banyak kemungkinan, bukan kebenaran mutlak?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI