Mohon tunggu...
Adi Firdaus
Adi Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Unand

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Komunikasi Krisis Pernyataan Presiden Prabowo Dalam Kebijakan Impor

13 Juni 2025   10:30 Diperbarui: 13 Juni 2025   10:26 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan dalam Sarasehan Ekonomi 

Pada 8 April 2025, dalam forum Sarasehan Ekonomi yang diselenggarakan di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sebuah pernyataan yang mengundang perhatian publik luas. Dalam pidatonya yang blak-blakan, ia menyoroti kebijakan kuota impor dan prosedur teknis atau pertek yang dinilainya telah lama menjadi penghambat arus barang ke dalam negeri. Dengan semangat reformasi birokrasi, Prabowo menginstruksikan agar pertek hanya dikeluarkan seizin presiden, dan meminta agar kuota impor terutama untuk barang kebutuhan pokok seperti daging dihapuskan sama sekali.

Pernyataan tersebut tentu tidak berdiri sendiri. Ia menjadi representasi dari semangat deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang diusung oleh pemerintah. Namun, penyampaiannya yang terkesan mendadak, tanpa kerangka penjelasan teknis maupun roadmap kebijakan, justru menimbulkan spekulasi, kecemasan, bahkan kepanikan di kalangan pelaku pasar. Tak lama setelah pidato tersebut beredar luas di media, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung merosot tajam hingga 7,9% dan sempat menyentuh ambang batas penghentian perdagangan sementara atau auto reject. Reaksi ini menunjukkan bahwa komunikasi dari pucuk pimpinan negara sangat berpengaruh terhadap persepsi pasar dan stabilitas ekonomi secara umum.

Pernyataan yang Mengguncang Pasar

Dalam konteks ekonomi nasional, sebuah pernyataan presiden tak bisa dianggap sebagai sekadar ekspresi pribadi atau opini politik. Ia merepresentasikan arah kebijakan negara. Ketika Presiden Prabowo menyatakan bahwa siapa pun boleh mengimpor daging tanpa batasan kuota, pernyataan ini langsung diasosiasikan sebagai sinyal deregulasi besar-besaran di sektor pangan. Para pelaku pasar menafsirkan bahwa akan terjadi banjir impor, tekanan terhadap nilai tukar, dan terganggunya rantai pasok domestik. Tidak mengherankan bila IHSG kemudian bereaksi negatif, karena investor melihat ketidakpastian regulasi sebagai risiko utama dalam berusaha.

Reaksi pasar ini juga dipicu oleh absennya narasi kebijakan yang sistematis. Dalam teori komunikasi krisis, sebagaimana dijelaskan oleh Coombs (2007), pemimpin publik seharusnya menyampaikan pernyataan penting dalam kerangka komunikasi yang terstruktur, jelas, dan empatik. Tanpa narasi kebijakan yang menyertainya, pernyataan Presiden Prabowo hanya menjadi shock statement yang mengundang spekulasi, bukan solusi.

Ketahanan Pangan dan Ancaman Deregulasi Impor

Isu penghapusan kuota impor sangat berkaitan erat dengan konsep ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan tidak hanya soal ketersediaan barang di pasar, tetapi juga menyangkut keberlanjutan produksi lokal, daya saing petani, dan kedaulatan negara dalam mengatur pangan untuk rakyatnya. Bila impor dibebaskan tanpa kontrol, pasar domestik akan dibanjiri produk asing yang lebih murah, dan petani lokal akan tersisih karena kalah bersaing.

Dalam jurnal penelitian oleh Daryanto (2010), disebutkan bahwa kebijakan impor yang tidak terencana dapat menyebabkan disinsentif bagi produsen domestik, mengakibatkan menurunnya produksi lokal dan memperbesar ketergantungan pada pangan luar negeri. Jika hal ini terjadi, maka ketahanan pangan Indonesia justru menjadi rapuh, bukan kuat. Oleh karena itu, penghapusan kuota impor seharusnya didasarkan pada riset menyeluruh dan koordinasi lintas kementerian, bukan disampaikan begitu saja tanpa strategi pendukung.

Kebijakan Tarif Trump dan Hubungan Perdagangan Global

Menariknya, Presiden Prabowo dalam pidatonya juga menyebut Presiden Donald Trump sebagai pihak yang justru "membantu" Indonesia menjadi lebih efisien dan tidak manja. Hal ini tentu merujuk pada kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diterapkan oleh AS terhadap sejumlah komoditas asal Indonesia. Meski dimaksudkan sebagai bentuk sindiran atau kritik konstruktif terhadap ketergantungan Indonesia pada sistem birokrasi yang rumit, pernyataan ini tetap menimbulkan pertanyaan: benarkah proteksionisme AS bisa dijadikan alasan bagi Indonesia untuk membuka keran impor seluas-luasnya?

Faktanya, kebijakan tarif Trump adalah bentuk proteksi terhadap industri domestik Amerika, dan justru bertolak belakang dengan semangat pasar bebas. Jika Indonesia ingin menjaga hubungan dagang yang adil dan berkelanjutan, pemerintah seharusnya memperkuat basis produksi dalam negeri, bukan sebaliknya menyerahkan pasar dalam negeri kepada produk luar. Oleh karena itu, pernyataan Presiden Prabowo perlu dikritisi dalam kerangka diplomasi perdagangan global dan keberpihakan pada sektor produktif nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun