Beberapa tahun yang lalu, dosen saya sempat menyampaikan pengalaman yang menggelitik ketika ia harus menangani mahasiswa tingkat akhir, yang nyaris drop out gara-gara belum juga menyelesaikan tugas skripsnya.
Di kampus saya, memang berlaku peraturan bahwa mahasiswa yang belum juga lulus selama 14 semester alias 7 tahun akan diberi dua pilihan, yaitu drop out atau “pemutihan”.
Mereka-mereka, yang sering dicap sebagai “mahasiswa abadi” itu, sebetulnya bukanlah mahasiswa yang kurang terpelajar. Beberapa mahasiswa yang saya kenal itu bahkan mempunyai otak yang cemerlang dan visioner.
Hanya saja, karena satu dan lain hal, seperti terlalu aktif berorganisasi, atau harus bekerja untuk menutupi biaya hidup, kuliah mereka menjadi molor, sehingga mereka pun nyaris “terdepak” dari dunia kampus karena tidak kunjung menyelesaikan tugas skripsinya.
Nah, untuk mahasiswa yang satu ini, jurusan saya mempunyai sebuah kebijakan yang unik. Jurusan biasanya akan menghubungi mahasiswa tersebut, lalu mengadakan sebuah sesi wawancara untuk mengungkap persoalan apa yang membikin mereka nyaris di “ambang pintu” drop out.
Dosen saya pun mendapat “amanah” dari kepala jurusan untuk mengorek keterangan mahasiswa tersebut. Sewaktu sesi tanya-jawab itu, dosen saya terlibat percakapan berikut.
“Mengapa kamu belum juga menyelesaikan tugas skripsimu?” Tanya dosen saya, dengan suara yang santai dan bersahabat.
“Saya punya masalah, Pak.”
“Masalah apa yang kamu alami?”
“Masalahnya adalah saya belum menemukan masalah untuk bahan penelitian saya, Pak.”
Seisi kelas kemudian tertawa menyimak pengalaman tersebut. Rupanya, gara-gara sulit menemukan masalah yang akan dijadikan obyek penelitian, maka mahasiswa itu belum juga merampungkan tugas pamungkasnya itu.