Pada suatu hari, seorang teman meminta pendapat saya tentang kualitas saham yang ingin dibelinya. Sudah cukup lama, ia tertarik berinvestasi di sebuah saham properti karena fundamentalnya dinilai bagus dan harganya murah.
Namun, karena masih merasa ragu, ia pun bertanya kepada orang lain agar bisa memperoleh masukan atas rencananya tersebut. Dengan begitu, ia berharap keputusan investasinya jadi lebih mantap.
Setelah melihat kinerja saham tadi secara sekilas, saya langsung bisa menilai bahwa ini bukanlah saham yang bagus. Walaupun secara fundamental, tampak wajar-wajar saja, namun, dari "sejarah harga", saham ini termasuk "payah".
Buktinya, selama beberapa tahun, harganya cenderung "jalan di tempat". Tidak ada kenaikan harga yang berarti, sehingga kalau kita berinvestasi di saham tersebut, menurut saya, cuma buang-buang waktu saja!
"Tapi, bukannya harganya sudah murah ya?" Sergah teman saya. Sepertinya ia kurang setuju dengan opini saya. Baginya, valuasi saham yang murah menjadi kriteria utama bagi investasi yang bagus, sehingga membeli saham yang valuasinya rendah dikira bakal memberikan banyak keuntungan.
Saya sepakat dengan pemikirannya, tapi saya juga melihat sejarah harganya dari tahun ke tahun. Setelah saya amati, ternyata selama bertahun-tahun, valuasinya memang konsisten rendah. Hal itu ditandai dengan PBV yang terus-menerus di bawah 1 x. Alhasil, boleh jadi, harga wajarnya memang segitu.
Sepertinya teman saya telah keliru menafsirkan kualitas sebuah saham. Hal itu memang kerap dialami oleh sejumlah investor saham, terutama yang menerapkan strategi "value investing".
Bagi yang masih pemula, strategi ini bisa menjadi "jebakan", sebab investor yang bersangkutan mungkin susah membedakan mana saham yang murah dan mana yang murahan.Â
Alhasil, semua saham yang valuasinya rendah dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk berinvestasi. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Dalam menyeleksi saham, saya lebih suka menggunakan PBV daripada PER, karena nilai buku tidak bisa "diotak-atik" dalam laporan keuangan, sementara laba yang menjadi acuan dalam per masih bisa dimanipulasi. Oleh sebab itu, menurut saya, penilaian berdasarkan PBV lebih akurat daripada PER.