Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Dilema" Memberi kepada Pengamen Muda

22 Oktober 2018   10:09 Diperbarui: 22 Oktober 2018   11:49 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: https://www.straitstimes.com

Perjalanan yang saya lalui pada hari Sabtu kemarin menyisakan kesan "angker" di memori saya. Pada saat itu, saya sedang naik kereta dari Stasiun Manggarai ke Stasiun Bekasi. Awalnya, semuanya berjalan lancar. 

Namun, saat kereta berhenti di Stasiun Jatinegara, seorang anak muda berumur sekitar dua puluhan bergegas masuk, lalu berdiri di samping saya. Seketika hati saya pun bercampur aduk dibuatnya!

Dari penampilannya, pemuda tersebut tampak seperti preman yang biasa mangkal di stasiun; kemejanya terlihat lusuh seolah berhari-hari tidak dicuci, tangannya dipenuhi gelang yang bentuknya aneh-aneh, dan topinya dipakai terbalik. 

Ia lalu meletakkan tas hitam yang dibawanya di rak atas, persis bersebelahan nasi kotak yang saya bawa.

Nasi kotak itu tadinya saya dapat setelah saya selesai ikut acara edukasi investasi saham di sebuah perusahaan sekuritas. Setelah acara bubar, panitia menyediakan nasi kotak, yang berisikan nasi putih, lalapan mentah, dan ayam bakar. 

Oleh karena belum merasa lapar, saya ambil nasi kotak itu, lalu saya bawa pulang. Niatnya, akan saya santap begitu tiba di rumah.

Oleh karena tidak bawa kantong kresek atau bag, saya biarkan begitu saja. Di dalam kereta, saya taruh di atas rak, agar saya bisa memainkan gawai dengan leluasa, tanpa repot memeganginya.

Namun, sewaktu pemuda tadi berdiri di sebelah saya, dan meletakkan tasnya di samping nasi kotak saya, sesuatu yang "ganjil" terjadi. 

Pasalnya, tanpa "angin" dari manapun, ia tiba-tiba meminta nasi kotak saya. Saya bilang, "Jangan; saya belum makan."

Alih-alih berhenti akibat ditolak, ia malah bicara lagi, "Saya abis ngamen; (saya) lapar, nanti (kamu) kan bisa beli lagi."

Sampai pada titik itu, saya merasa risih. Betapa tidak! Bagaimana perasaanmu kalau kamu tiba-tiba diminta makanan oleh orang asing yang tampangnya sangar begitu? Seribu pikiran negatif terus tersembur dari pikiran saya.

Saya diam sejenak. Sesaat perasaan diselimuti perasaan ngeri dan bimbang. Kemudian, dalam hati, saya merenung, "Ah, daripada saya kenapa-napa, lebih baik saya kasih saja." 

Akhirnya, saya berikan nasi kotak itu kepada si pengamen, seraya berharap ia tidak berbuat macam-macam kepada saya.

Biarpun tak ada lagi obrolan di antara kami, saya sudah telanjur merasa horor terhadap pengamen tersebut. Berkali-kali saya merogoh kantong celana saya, memastikan bahwa dompet saya masih di situ, takut kalau-kalau dompet itu berpindah tangan saat saya lengah.

Saya sebetulnya tak ingin menuduh yang bukan-bukan. Namun, pikiran saya memang jelek saat itu, dan hati saya terus waswas sepanjang jalan. 

Sikap saya menjadi sedemikian gelisah, seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi.

Biarpun pada akhirnya, pikiran "liar" itu meleset karena saya masih utuh, tidak kurang apapun, sewaktu saya tiba di Stasiun Bekasi, pengalaman itu tetap saja meninggalkan "jejak" kurang baik di pikiran saya.

Sebetulnya itu bukanlah kali pertama bertemu dengan pengamen muda seperti itu. Dulu, sewaktu saya kuliah, saya kerap menjumpainya di metromini. 

Kadang saya agak heran dengan mereka. Sebab, mereka sering mengamen tanpa modal apapun, kecuali tepuk tangan dan sedikit "ancaman".

Sebelum bernyanyi, para pengamen yang umurnya rata-rata di bawah tiga puluh tahun itu biasanya akan kasih "intro". 

Mereka akan bilang bahwa daripada mereka berbuat jahat, mereka lebih memilih mengamen, dan mengharapkan kemurahan hati para penumpang untuk kelangsungan hidup mereka. 

Sambil melantunkan lagu, mereka kemudian berkeliling mengedarkan kantong plastik permen bekas, seraya berharap mendapat cukup banyak sumbangan dari orang lain.

Saya biasanya memberi mereka, bukan berdasarkan kualitas suara yang dihasilkan. Bukan pula pada bagusnya lagu yang dinyanyikan. Bukan. Bukan sama sekali. Saya memberi untuk menciptakan rasa aman. 

Saya pikir betul juga kata-kata mereka. Kalau kita enggan berbagi seribu-dua ribu saja, mereka sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka; dan, kalau mereka tidak bisa memperolehnya, mereka akan melakukan apapun, termasuk melaksanakan tindak kriminal, untuk mendapatnya. 

Kalau itu sampai terjadi, bukankah hidup kita jadi tidak aman? Makanya, biar semua selamat sentosa, saya pikir, memberi sedikit sepertinya tidak apa-apa.

Apa yang saya lakukan dulu mungkin "berseberangan" dengan prinsip seorang guru SMA saya. Saya ingat, pada suatu kesempatan, ia pernah bilang tidak akan pernah mau kasih uang kepada pengamen muda. 

Alasannya? Sebab, mereka masih muda, masih bisa bekerja mencari uang, tidak harus menggantungkan hidup pada kemurahan hati orang lain.

Makanya, guru saya mengaku lebih senang, lebih ikhlas, lebih rela memberikan uangnya kepada orang-orang lanjut usia yang terpaksa meminta-minta di jalan, daripada pengamen-pengamen muda yang kerjanya turun-naik kendaraan umum minta sumbangan.

Alasan yang dikemukakan guru saya tentu ada benarnya. Bukankah kalau terus mengharapkan kebaikan dari orang lain, yang bersangkutan akan sulit hidup mandiri nantinya? 

Apalagi yang bersangkutan masih muda dan kuat. Tentu tersedia beragam pekerjaan yang bisa dipilih, andaikan ia mau sedikit berusaha.

Namun, sebaliknya, kadang saya juga berpikir, "Apakah betul terdapat banyak lapangan kerja untuk mereka, mengingat kini cari kerja saja sulitnya bukan main? 

Apakah mereka punya kesempatan untuk bekerja seperti orang-orang, mendapat penghasilan yang layak, terutama pada masa ketika situasi ekonomi sedang bergolak begini?"

Makanya, bagi saya, memberi kepada pengamen muda itu menimbulkan "dilema" tersendiri. Lalu, bagaimana dengan Anda, para pembaca sekalian?

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun