Sepanjang minggu kemarin, pasien katarak merasa "waswas". Sebab, beredar kabar BPJS Kesehatan mencabut jaminan terhadap pengobatan katarak. Kalau kabar itu benar, berarti pengidap katarak akan semakin hidup dalam keterbatasan. Mereka ibarat hidup di dalam "kotak" akibat dibatasi penyakit mata yang diidap, dan tentunya ongkos pengobatan yang mesti ditanggung.
Namun demikian, kabar itu dibantah oleh Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan, Budi Mohammad Arief. Dalam acara Ngopi Bareng JKN bertema "Penjaminan Pelayanan Kesehatan", yang diselenggarakan di Cerita Cafe pada tanggal 2 Agustus 2018, beliau menjelaskan BPJS Kesehatan tidak berhenti memberi jaminan kepada pasien katarak, tetapi melakukan "penataan ulang" berdasarkan prioritas.
Hal itu dilakukan karena manajemen BPJS Kesehatan merasa perlu memprioritaskan pasien katarak yang penyakitnya sudah parah. Makanya, jaminan operasi katarak dibatasi kepada pasien yang memiliki visus di bawah 6/18.
Penyakit katarak memang disebut-sebut menyerap banyak sekali anggaran BPJS Kesehatan. Pada acara tersebut, Budi menyebut BPJS Kesehatan sejauh ini telah menggelontorkan Rp 2,65 triliun untuk meng-cover biaya pengobatan katarak di semua wilayah Indonesia.Â
Oleh sebab itu, agar anggaran yang tersedia di kas BPJS Kesehatan cukup untuk menangani penyakit-penyakit lainnya, penyeleksian pun mesti dilakukan.
Penyeleksian itu juga berlaku untuk penjaminan biaya persalinan dan rehabilitasi medik, yang juga menelan biaya jaminan yang tinggi. Hal itu dilakukan agar program layanan kesehatan yang sudah berlangsung selama ini lebih tepat sasaran dan sesuai dengan prioritas. Dari situ, BPJS Kesehatan kemudian menerbitkan 3 implementasi.
"BPJS Kesehatan sama sekali tidak mengatur ranah medis. Misalnya dalam kasus bayi lahir sehat. Kami setuju bahwa semua kelahiran harus mendapatkan penanganan yang optimal dari tenaga medis. Namun mekanisme penjaminan biaya untuk bayi sehat dan bayi yang sakit atau butuh penanganan khusus, tentunya berbeda," kata Budi.
Budi menekankan pengimplementasian 3 peraturan tersebut tidak menghilangkan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS.Â
Semua itu dilakukan untuk memastikan kesinambungan program. Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat terus merasakan manfaat dari adanya program JKN-KIS.
Budi pun berharap, ke depannya mitra fasilitas kesehatan juga dapat menjadikan efektivitas dan efisiensi sebagai prinsip utama dalam memberikan pelayanan kesehatan. Jika hal tersebut diimplementasikan dengan optimal, seluruh pihak akan merasakan masing-masing benefit-nya.Â
Peserta JKN-KIS puas karena terlayani dengan baik, fasilitas kesehatan kian sejahtera, dan program JKN-KIS dapat terus berlanjut demi meningkatkan derajat kesehatan penduduk Indonesia.