Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup di Negeri Lumpuh

18 Desember 2018   20:43 Diperbarui: 18 Desember 2018   21:14 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Sungai Kalang di Kayutanam, Kabupaten Padangpariaman, Sumatra Barat, yang menghubungkan ruas jalan nasional Padang-Bukittinggi ambruk diterjang air bah. (REPRO: KORAN PADANG)

BENCANA alam terjadi di mana-mana. Bencana alam itu 'melumpuhkan' kehidupan rakyat. Jembatan putus. Jalan terban. Longsor menimbun jalan. Rakyat menderita. Sungguh memilukan. Korban berjatuhan. Korban harta, perasaan, dan banyak lagi korban yang semuanya adalah penderitaan.

Bencana alam memang salah satu sumber kelumpuhan. Siapapun insan normal pasti tak menghendaki terjadi bencana, apapun bentuknya.

Sebagai umat Islam, kita tentu mempercayai bahwa Allah Maha Kuasa. Semua yang terjadi adalah kehendak-Nya. Namun demikian, sebagai manusia yang diberi kelebihan akal dan fikiran, tentu perlu memanfaatkan pikiran itu maksimal. Terutama memikirkan cara untuk memperkecil atau mengurangi resiko dan kerugian bencana. Tentu, negara kita punya banyak tenaga ahli, termasuk peneliti.

Berbicara tentang ketahanan jembatan, konon Belanda ahlinya. Di Indonesia luar biasa banyak jembatan yang dibangun Belanda. Tak hanya itu, seluruh jalur kereta api yang ada di Indonesia mayoritas dibangun Belanda. Diperkirakan di sepanjang jalur kereta api itu terdapat ribuan jembatan, besar ataupun kecil, yang dibangun Belanda dengan memeras tenaga pribumi.

Patas diteliti, kenapa semua jembatan yang dibangun Belanda itu utuh sampai sekarang? Contohnya saja jembatan di di kawasan Batang Anai. Tiap waktu jembatan itu jadi tumpuan aliran air. Namun sudah ratusan tahun usia jembatan itu sampai sekarang tetap utuh. Luar biasa. Belanda memang hebat.

Almarhum wartawan senior Indonesia, H. Rosihan Anwar, pernah menulis di salah satu surat kabar terbitan Sumbar dulunya tentang mulainya jalan raya di Sumbar diaspal beton. Disebutnya, 'aspal beton si Melayu'. Maksudnya, berbeda dengan aspal beton asing yang tahan lama. Begitupula jembatan yang dibangun asing masih kokoh. Jembatan melayu, maklum sajalah, di Kayutanam contohnya.

Bagaimanapun hebatnya bencana menyerang daerah ini, namun kehebatan dan maksimalnya pengabdian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) bersama partnernya sungguh luar biasa. Bayangkan, mereka bekerja berhujan-hujan, dalam kegelapan, menyingkirkan pepohonan yang tumbang ke jalan negara di Lembah Anai pada tiga titik, Senin malam lalu (10/12/2018). Termasuk menyingkirkan bebatuan runtuhan tebing yang menutupi jalan.

Longsor menimbun ruas jalan nasional Padang - Solok, di Panorama 2 Sitinjau Laut, Kota Padang, Sumbar. (REPRO: KORAN PADANG)
Longsor menimbun ruas jalan nasional Padang - Solok, di Panorama 2 Sitinjau Laut, Kota Padang, Sumbar. (REPRO: KORAN PADANG)
TIGA kendaraan yang terdiri dari stau unit truk, satu Toyota Innova, dan satu bus merk dinding Family Raya, terseret longsor di ruas jalan nasional Padang - Solok, di Panorama 2 Sitinjau Laut, Kota Padang, Sumbar, Kamis (13/12/2018). (REPRO: KORAN PADANG)
TIGA kendaraan yang terdiri dari stau unit truk, satu Toyota Innova, dan satu bus merk dinding Family Raya, terseret longsor di ruas jalan nasional Padang - Solok, di Panorama 2 Sitinjau Laut, Kota Padang, Sumbar, Kamis (13/12/2018). (REPRO: KORAN PADANG)
Sungguh, siapapun yang melihatnya bakal terharu. Kebetulan malam itu penulis juga merasakan kesusahan karena larut jadi korban bencana, terjebak di tengah ribuan mobil yang antre akibat putusnya jembatan di Kayutanam. Masjid Muhammadiyah Kayutanam jadi titik kumpul penumpang kendaraan umum dan kendaraan pribadi pada malam itu.

Meski ada juga yang berusaha menempuh 'jalan tikus', tapi tak berjalan mulus. Tak ada petugas yang mengatur. Hanya kendaraan pribadi berani masuk jalan tikus dibantu anak muda setempat.

Tengah malam, satu-persatu kendaraan yang menuju Padang mulai star.Tapi berputar jalan melalui Malalak atau Sitinjau Laut. Masjid Muhamadiyah Kayutanam berangsur-angsur lengang karena kaum 'muhajirin' mulai berangkat.

Diakui, Sumbar rawan bencana. Tebing terjal di pinggir jalan cukup banyak di daerah ini yang berpotensi longsor. Apakah kita ribut saat bencana saja? Sudah sepantasnya tebing terjal itu secara bertahap diatasi problemanya.Tentu dengan menghabisi terjalan itu. Meruntuhnya dan memperlapang jalan di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun