Saya ini orang yang gampang getun. Tahu getun, kan? Semacam penyesalan level receh yang datangnya sering telat. Lihat mas-mas Indomaret salah kasih kembalian seribu perak, baru sadarnya pas sudah sampai rumah. Getun. Nggak sengaja buang sisa sambel pecel yang sebenarnya masih bisa buat besok pagi. Getun.
Dan akhir-akhir ini, sumber getun terbesar saya adalah meja makan. Bukan, bukan karena saya makan sendirian. Tapi justru karena ketika makan bareng-bareng, rasanya lebih sepi daripada nonton uji nyali di TV sendirian jam dua pagi.
Sampeyan pasti pernah ngalamin, kan? Duduk di meja makan, satu keluarga lengkap. Bapak, Ibu, anak. Formasi impian kayak di iklan sirup Marjan pas puasa. Tapi coba perhatikan pemandangannya: Bapak nunduk, khusyuk sekali menatap layar ponselnya, entah lagi baca berita "Presiden Prabowo Beri Amnesti ke Hasto dan Abolisi Tom Lembong" atau sekadar ketawa-ketiwi lihat status WA temannya. Ibu, di seberangnya, juga sama. Jarinya lincah scroll katalog daster di Shopee, sesekali berhenti buat nge-zoom motif bunga-bunga. Anak-anak? Lupakan. Mereka sudah teleportasi ke semesta lain. Jiwanya di Land of Dawn, raganya cuma numpang ngunyah nasi di sini.
Meja makan, sebuah benda mati yang didesain untuk menyatukan, malah jadi saksi bisu dari kesunyian paling canggung. Canggungnya ngalah-ngalahin pas kita nggak sengaja ketemu mantan pacar di kondangan temen. Sama-sama di satu tempat, tapi pura-pura nggak lihat.
Jan, nggilani tenan. Padahal, kalau mau jujur-jujuran, meja makan itu adalah ruang paling brutal sekaligus paling adil di muka bumi. Ia adalah ring tinju paling demokratis yang pernah ada. Di atas ring itu, titel dan jabatan yang kita bangga-banggakan di luar sana luntur seketika.
Bapak boleh jadi manajer di kantor, tapi di meja makan, kekuasaannya bisa runtuh hanya karena anaknya nyeletuk, "Yah, Ayah kalau makan kok sruputannya kenceng banget kayak lagi nyedot bensin?" Ibu, yang di arisan RT jadi bendahara paling disegani, bisa langsung kicep saat suaminya protes, "Bu, ini sayurnya kok hambar, belum kenalan sama garem, ya?"
Di sana, tidak ada atasan dan bawahan. Yang ada hanya sekumpulan manusia lapar dengan lidah dan isi kepala yang berbeda-beda, siap saling melontarkan jab, hook, dan uppercut verbal. Dan mungkin, karena takut kena bogem mentah argumen itulah, kita memilih gencatan senjata. Diam.
Padahal, di situlah letak keseruannya.
**
Kalau mau tahu kondisi sebuah bangsa tanpa perlu baca laporan Bank Dunia atau nonton debat kusir di TV, intip saja obrolan di meja makannya. Nggak perlu ribuan sampel. Cukup satu-dua keluarga saja, sudah cukup jadi representasi.
Bayangkan meja makan keluarga PNS yang baru pindah ke komplek perumahan baru. Sarapan pagi dengan menu roti tawar dan kopi sasetan. Si Bapak, dengan kemeja batiknya, mulai berkhotbah setelah membaca judul berita online. "Waduuh, utang negara nambah lagi. Ini gimana, sih, pemerintah kerjanya? Rakyat kecil makin susah!" katanya dengan nada prihatin seorang pengamat politik dadakan.