Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pembatik dan Pembecak di Kauman, Simbiosis yang Menguntungkan

26 Juni 2014   02:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:53 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_330765" align="aligncenter" width="480" caption="Pebecak sedang menunggu penumpang cr: dok pribadi"][/caption]

Seusai berwisata ke Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar, rombongan Kompasianer yang mendapat hadiah wisata gratis ke Solo bertajuk Kuldon Sariawan Tour kemudian kembali ke Solo. Namun, sebelum kembali ke penginapan di Griya Teratai, penyelenggara mengajak kami mampir untuk membeli oleh-oleh. Mobil kemudian berhenti di dekat Taman Sriwedari. Tak jauh dari situ ada Pusat Grosir Solo. Namanya saja pusat grosir, tentu harganya lumayan miring. Barangkali mirip harga di Pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Bambu Kuning di kota saya, Bandar Lampung.

Namun, saya tak berminat untuk membelanjakan uang di sana. Apalagi suasanya yang ramai, sesuatu yang kurang saya sukai. Saat celingak-celinguk tidak keruan, saya bertemu Gapey Shandy. Rupanya ia juga tak berhasrat membeli oleh-oleh di sana. Ia mencari admin Kommpasiana, Pendi Kuntoro. Rupanya mereka bersepakat untuk mengitari Kesultanan Yogya sampai Kampung Batik Kauman dengan becak. Setelah tahu niat Gapey, saya mendadak suka. Lantaran Pendi tak jua ketemu, akhirnya saya dan Bang Fadlii, demikian sapaan akrab saya kepadanya, setuju untuk mengisi waktu sampai jam empat sore dengan berkeliling Solo dengan becak. Sekoyong-konyong muncul Joshua Limyadi, kompasianer termuda di antara kami bersepuluh. Rupanya ia minat juga berkeliling Solo dengan becak. Bertiga kami menyewa dua becak. Saya dan Joshua berada di satu becak, sedangkan Bang Fadli sendirian. Maklum, postur abang kami yang satu ini cukup berbobot. Saya juga berbobot, tapi masih kalah dengan beliau, hehehe.

[caption id="attachment_330768" align="aligncenter" width="604" caption="cr: dok pribadi"]

14036988521637021646
14036988521637021646
[/caption]

Solo hari itu, Sabtu, 14 Juni 2014, ramai. Jokowi hendak datang. Maka, saat becak mulai berjalan, situasi lalu lintas di seputaran Pasar Klewer, Kesultanan Solo, hingga Kampung Batik Kauman, sungguh ramai. Satu yang berbeda dengan di kota saya, meski padat, pengendara di kota ini tampak menikmati. Tak ada sumpah serapah lantaran kendaraan menyemut sehingga berjalan lambat. Begitu juga saat becak yang kami tumpangi memotong jalan, pengendara motor seperti biasa aja keles. Hehehe.

Lampu lalu lintas di kota ini memang ada. Tapi ada beberapa titik yang tidak ada lampu merahnya. Dan di situ lalu lintas lancar-lancar saja. Tak ada sumpah serapah lantaran berebut mau jalan duluan. Perjalanan kami terhenti di sebuah SMP di seputaran Keraton. Rupanya sedang ada acara budaya di situ. Semua siswa berpakaian khas Jawa. Yang putra memakai blangkon dan pakaian khas Jawa. Sedangkan yang putri berdandan bak Kartini. Rupanya sedang ada lomba menyambut kelulusan siswa. Seorang polisi yang berjaga di situ, berkata, lomba budaya ini untuk meminimalkan perilaku coret-coret pakaian usai lulus sekolah. Juga, kata dia, untuk menjaga kultur Solo sebagai kota yang sarat budaya. Lenggak-lenggok putra dan putri Solo ini sungguh menarik perhatian hati. Di saat anak muda seusia mereka lebih memilih budaya K Pop, mereka justru tak mau tercerabut dari kultur asli kotanya. Salut untuk Solo. Salut untuk sekolah yang komitmen menjaga budaya setempat.

Bang Fadli dan Joshua sibuk mengambil gambar dengan kamera besar nan keren. Saya yang memang tak punya kamera semacam itu, hanya mengamati saja. Kedua Kompasianer ini pengertian juga. Disorongkannya kamera itu kepada saya. Tentu bukan untuk membidik situasi di sana, tapi mengabadikan foto keduanya. Dasar, hahaha. Jadilah foto Joshua dan Bang Fadli di becak, saya bidik. Hasilnya lumayan juga. Bahkan, foto karya saya, dipajang Joshua di artikel yang sempat masuk menjadi HL di Kompasiana. Selamat dan mantap.

Perjalanan kami lanjutkan. Terlihat beberapa pelancong lokal sedang mengikuti seorang juru Keraton yang menjelaskan titik tertentu dari bangunan ini. Keraton Solo ini memang ditembok besar, tinggi, dan kuat. Kata Joshua, ini pembeda dengan Keraton Yogya yang relatif tak bertembok besar dan tinggi. Bedanya lagi, kata Joshua, pengunjung di Keraton Solo lebih bisa leluasa masuk ke seputaran Keraton Solo ketimbang ke KeratonYogya. Lantaran belum satu kali pun menginjakkan kaki di Keraton Yogyakarta, saya hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Joshua yang mengklaim masih berdarah Keraton Yogya.
Perjalanan kami lanjutkan. Dua pembecak yang membawa kami santai-santai saja bekerja. Sudah keseharian mereka rupanya. Oh iya, harga sewa becak ini murah banget. Hanya dua puluh ribu perak sekali jalan. Puas kita mengitari lekuk-lekuk Keraton Solo. Kedua bapak pembecak itu kemudian membawa kami ke Kampung Batik Kauman. Gang di Kampung Batik Kauman ini tak terlalu besar. Tapi, jangan khawatir jika membawa mobil, luas jalannya masih cukup menampung kendaraan. Bang Fadli meminta berhenti di sebuah butik batik di Kauman. Namanya: Gunawan Setiawan. Gerai batik ini cukup besar. Ada musala pula di samping bangunan usaha batik ini. Kami ke dalam. Beberapa karyawan perempuan berhijab nan cantik menyambut kami dengan ramah. Senyum diulas. Tak ada kesan senyum itu dibuat-buat. Kami merasa senyum itu sambutan khas orang Solo kepada setiap pendatang, termasuk kepada kami, tiga Kompasianer yang lumayan keren ini.

Namun, kami dilarang untuk mengambil gambar di dalam toko. Kami pun tak keberatan. Kami menuju ruangan khusus di belakang, tempat beberapa pembatik sedang bekerja. Ada lima perempuan yang sedang membatik tulis. Tangan mereka begitu apik menatahkan lilin atau malam ke kain yang digunakan sebagai dasar. Motifnya beragam. Saya menduga semua pembatik tulis ini amat berpengalaman. Tangan mereka terampil sekali mengguratkan arsiran di kain. Kami terkesima. Sayang sekali, kami tak bisa memfoto. Saya kemudian melihat-lihat pakaian yang bergelantungan dengan rapi. Saya tak berniat membeli kemeja untuk diri pribadi. Saya mencari kaus bermotif batik untuk dua anak saya. Keduanya laki-laki. Yang pertama, Nuh Muzaffar Quthuz, usia lima tahun. Yang kedua Mirai Al Biruni, masih tiga bulan. Seorang karyawati dengan ramah ikut mencarikan kaus yang saya inginkan. "Carikan yang warnanya cerah, Mbak," ujar saya. Si Mbak manggut sambil membuka beberapa buntalan berisi kaus anak-anak. Akhirnya kaus yang saya cari dapat. Dua buah kaus berwarna cerah. Mungkin yang untuk Mirai, baru bisa dipakai saat ia menginjak usia satu atau dua tahun. Tak apalah. Yang penting, ini dibelinya di Kauman, kampung batik kebanggaan warga Solo.
Bang Fadli rupanya berbelanja juga. Tapi ia memilih beberapa batang cokelat untuk anaknya di rumah. "Enggak beli cokelat, Adian. Nanti ditanyakan putramu lo, kok Abahnya enggak belikan cokelat," ujar Bang Fadli. Saya hanya tersenyum seraya bilang sudah membeli kaus untuk dua jagoan di rumah. Lumayan lama kami berada di gerai batik Gunawan Setiawan ini. Saat keluar, dua tukang becak itu sambil tersenyum, bilang kepada kami. "Ke situ juga, Mas. Koleksinya bagus dan harganya miring. Silakan, silakan," kata seorang pembecak. Saya lumayan tertegun. Mereka yang tidak berjualan pakaian dan batik, tapi mau mempromosikan usaha milik orang lain.

[caption id="attachment_330767" align="aligncenter" width="480" caption="cr: dok pribadi"]

14036988041651908208
14036988041651908208
[/caption]

Seorang pegawai butik persis di seberang butik Gunawan Setiawan, dengan topi khas zaman Belanda, memandu kami agar masuk ke tempat usahanya. Kami pun masuk. Tapi saya dan Bang Fadli hanya melihat-lihat.  Joshua kali ini yang sibuk belanja. Rupanya mahasiswa semester tiga di Binus, Jakarta, ini mau membeli sepasang batik untuk ia dan pacarnya. So sweet deh. Saat luar, saya melihat karyawati butik memberikan teh manis di gelas besar kepada dua tukang becak yang kami tumpangi. Saya berpikir, alangkah manusiawinya pengusaha batik di sini kepada pembecak. Secara langsung, para pembecak ini turut menaikkan omzet usaha batik. Wajar kalau sekadar teh manis atau kopi diberikan kepada mereka. Saya menduga, kedua pembecak ini pasti akan mendapatkan tips dari si empunya usaha batik.
Saat Joshua masih asyik memilih batik untuk ia dan pacarnya, saya bertanya kepada dua bapak pembecak ini. Apakah mereka memperoleh fee dari pengusaha batik dati setiap pembeli yang mereka bawa? Pembecak itu menjawab, iya. Namun, tips yang mereka peroleh biasanya diberikan menjelang Idul Fitri. Jumlahnya pun lumayan. Saya mahfum. Demikian simbiosis yang terjadi di antara para bapak pembecak ini dengan pengusaha batik, khususnya di Kampung Batik Kauman ini. Tak mengherankan juga jika pengusaha batik memberikan sekadar minuman dan kudapan untuk mereka saat menunggu pelancong berbelanja. Mungkin, semakin banyak uang yang dibelanjakan, semakin lumayan juga tips yang diperoleh para pembecak.
Saya sungguh terpesona dengan simbiosis ini. Meski saling menguntungkan. Kadang di banyak tempat, situasi yang sama tidak berjalan. Sebuah usaha hanya dianggap milik seseorang dan tidak ada imbas apa-apa untuk jenis pekerjaan lain. Tapi di Solo, semua warga, setidaknya diwakili oleh pengusaha batik dan pembecak, saling bekerja sama. Meski tidak memiliki usaha batik, para pembecak tetap punya perasaan memiliki yang tinggi. Meski tips baru diperoleh jelang Lebaran, mereka tetap semangat membawa pelancong ke Kampung Batik Kauman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun