wartawan Kompas meminta saya hadir pada acara syukuran di rumahnya.Â
Sekitar sembilan tahun lalu saya dapat tugas berat. Seorang teman yang diterima menjadiNamun, tugas saya bukan sekadar menghadiri syukuran. Si empunya hajat yang usianya bertaut mungkin belasan tahun, meminta saya menghadap orangtuanya.
Tentu bukan bermaksud untuk melamarnya. Posisi saya sudah resmi jadi suami dengan dua anak laki-laki semua.
Teman itu minta tolong. Saya diminta bicara dengan ibu dan bapaknya. Khususnya ibu.Â
Inti pesan saya adalah menguatkan kondisi mental si ibu kalau anak perempuannya jadi wartawan. Jurnalis di Kompas. Salah satu media terbesar di Indonesia. Paling besar mungkin.
Besar dari sisi nama. Besar dari sisi pendapatan. Juga besar dari sisi gaji. Juga besar peluang berkembang di masa depan.Â
Saya pun mengiyakan. Malam usai isya saya datang. Saya kala itu masih bekerja di sebuah harian paling tua dan paling punya nama di provinsi tempat saya mukim.
Usai datang, saya dan beberapa yang lain ikutan makan. Makan besar. Nasi dan lauk pauk lengkap. Acara resmi dengan tetangga dan lainnya sudah digelar sahibul hajat.Â
Ini acara anak muda dan kawan-kawan dari teman yang diterima sebagai wartawan Kompas.
Usai itu, saya kemudian mengajak ngobrol orangtua teman tadi. Dari situ cerita inti mengalir.Â
Si ibu masih belum rida benar kalau anak wedok-nya kerja sebagai wartawan. Kebayang dalam benak ibu ini, anaknya kerja kesana kemari mencari berita. Hilir mudik mengejar narasumber. Pergi ke tempat jauh untuk melakukan liputan.Â