menulis untuk koran Lampung Post, kadang seminggu rajin beli koran. Tujuannya, untuk tahu apakah tulisan yang kita kirim itu dimuat atau tidak.Â
Waktu awal-awalUsai mengirim ke redaksi, besok dan seterusnya selalu beli koran. Memang sih dengan beli koran kita bisa membaca segala informasi yang ada di dalamnya. Namun, tujuan utama kala itu mengecek apakah ada tulisan yang dimuat atau tidak.
Setahun proses itu, masih juga hal yang sama. Saya tidak sabaran untuk mengetahui apakah tulisan dimuat atau tidak.Â
Semakin ke sini perilaku itu tidak begitu mendominasi. Tapi kadang muncul juga.
Sewaktu kenal Kompasiana, juga sama saja. Kalau dulu membeli koran untuk mengecek apakah ada tulisan yang tayang atau tidak, sekarang serupa tapi tak sama persis.Â
Akun Kompasiana saban menit dicek apakah tulisannya masuk artikel utama atau belum. Kemudian, sudah berapa yang membaca. Sudah berapa yang kasih nilai. Sudah berapa pula yang memberikan komentar.
Jika hal itu terjadi pada kita, baik sering maupun tidak, artinya kita masih disandera oleh tulisan. Maksudnya, kita belum bisa lepas dari artikel yang ditulis tadi.
Kita ingin mengetahui nasib tulisan itu dari waktu ke waktu. Waktu kita habis untuk mengecek perkembangan tulisan tadi. Padahal waktu yang ada sebetulnya bisa kita isi dengan kegiatan lain.
Ini sama dengan media sosial. Usai mengunggah foto atau video ke media sosial, kita kemudian rajin melihat.Â
Tujuannya kepingin tahu seberapa banyak warganet yang sudah kasih tanda suka di unggahan itu. Atau sudah berapa banyak yang kasih komentar.Â
Kita merasa butuh itu sebagai sebuah pengakuan. Artinya, kita masih tersandera dengan postingan itu.