Ini cerita saya dan beberapa sepupu waktu kami pra-SD. Namanya anak-anak, sulit diajak salat, apalagi puasa. Era 80-an masa itu, belum ada Taman Kanak-Kanak Alquran atau Taman Pendidikan Alquran. Ada sih mungkin, tapi tidak serapi sekarang manajemennya. Tak pelak, kesadaran untuk salat, puasa, dan sebagainya, itu banyak dibentuk di keluarga, baik ayah maupun ibu. Kadangkala peran itu diambil oleh guru ngaji yang didatangkan ke rumah untuk mengajar secara privat.
Nah, masa itu, yang namanya salat masih disuruh-suruh. Termasuk jumatan. Waktu itu, saya sering diajak bermalam di rumah beberapa uwak di Kampung Empang, Kelurahan Pasir Gintung, Bandar Lampung.
Hingga suatu waktu, beberapa sepupu heboh. Pasalnya, usai mereka salat Jumat, di bawah kasur tempat tidur mereka ada telur hangat. Namanya juga anak-anak.
Anton, seorang sepupu, bilang kepada saya.
"Di sini kalau habis jumatan dapat telur ayam di bawah kasur. Kata Ibu Gede, itu dari malaikat Mikail yang bawa rezeki."
Ibu Gede yang dimaksud adalah uwak tertua dari jalur ibu. Saya manggut-manggut. Karena penasaran, suatu waktu saya bermalam di sana. Pas hari Jumat, semangat betul mau Jumatan.
Setengah jam sebelum jumatan, kami sudah rapi. Enggak usah disuruh, berangkat ke masjid. Di masjid, duduk, diam, nyimak. Salat juga dikhusyuk-khusyukkan.
Soalnya dari semalam sudah dibilang sama Ibu Gede, kalau salat itu diam, khusyuk. Jangan ngobrol, cekikikan, bisa ganggu ibadah jamaah lain. Kami nurut aja.
Begitu salam rekaat kedua, kami berebut pulang duluan. Saya ikuti Anton langsung ke kamarnya. Semalam saya tidur di situ. Begitu kasur diangkat, benar. Eng ing eng...
Ada telur empat butir. Masih hangat.
"Tuh, kan bener. Malaikat Mikail yang kasih telur karena kita rajin salat Jumat. Ini Ian dua, Anton dua," kata sepupu saya itu.