Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berpaling kepada Sang Hidup

31 Maret 2021   20:02 Diperbarui: 31 Maret 2021   20:13 3751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Image: kokris.com

Sudah lebih dari setahun dunia dilanda dan berada dalam suasana mencekam karena pandemi covid-19. Sejak awal kemunculannya hingga kini, jumlah jiwa yang positif terinfeksi virus covid-19 tidak kurang dari 128 juta jiwa di seluruh dunia dengan jumlah jiwa yang akhirnya mengalami kematian sekitar 2,8juta jiwa. Jumlah ini tentunya bukanlah jumlah yang sedikit. Itulah sebabnya WHO menetapkan pandemi covid-19 sebagai pandemi global.

Untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 maka pemerintah Indonesia menetapkan social distancing yang berdampak kepada tidak diperbolehkannya beribadah secara konvensional di gedung gereja dan digantikan dengan ibadah online. Banyak pro dan kontra mengemuka menanggapi kebijakan ini. Kondisi ini sebenarnya tidak sepenuhnya baik, karena ternyata membuat banyak anggota jemaat mengalami "kehausan rohani" dan mereka merindukan diadakan kembali ibadah offline.

Setiap hari banyak orang yang meregang nyawa karena virus covid-19 tidak terkecuali anggota gereja. Pendeta, hamba Tuhan, penatua, jemaat biasa, tua dan muda bahkan anak-anak banyak yang meninggal karena covid-19. Sehingga kondisi ini menciptakan ketakutan tersendiri dalam diri setiap orang. Banyak yang akhirnya takut keluar rumah hingga bersikap radikal untuk bersentuhan dan berkomunikasi dengan orang. Mengapa? Karena mereka umumnya takut terinfeksi virus ini yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian.

Dengan demikian, akibat pandemi covid-19 ini menjadikan banyak orang mengalami ketakutan yang meningkat, khususnya takut untuk mati. Hal ini masuk akal karena setiap hari pasti ada yang meninggal karena covid-19. Akan tetapi, kita patut bersyukur bahwa dalam suasana seperti ini, kita kemudian diberikan sebuah berita pengharapan melalui tema Paskah yang sangat kontekstual dengan kondisi dunia hari ini, yakni: "Berpaling kepada Sang Hidup" yang didasarkan pada teks Yohanes 20:14-16.

Paskah yang kita rayakan adalah peringatan kepada kebangkitan Yesus. Di mana kebangkitan Yesus adalah peristiwa yang penting bagi iman Kristen karena melalui peristiwa ini menjadikan iman Kristen adalah iman yang efektif menyelamatkan dan memerdekakan dari kematian. Yesus telah mati menggantikan kita, dan Dia telah bangkit untuk memerdekakan kita dan membuat kematian-Nya sebagai kematian yang memberikan hidup, karena Dia adalah Sang Hidup itu.

Artinya kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan di dalam Kristus, karena justru itu akan menjadi pintu bagi kita menuju kepada hidup yang kekal. Itulah sebabnya, dalam surat Filipi Paulus berkata, "Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan". Artinya sekalipun kita nanti akan mati, akan tetapi ketika kita mati di dalam Kristus maka kematian itu merupakan sebuah keuntungan. Mengapa bisa? Oleh karena, sekarang kita sudah berpaling kepada sang Hidup itu. Memang dosa membuat kita berpaling kepada kematian, namun melalui kematian dan kebangkitan Yesus, kita dibebaskan dari kematian dan masuk dalam sebuah kehidupan karena Yesus adalah Sang Hidup.

Dalam Yohanes 20:14-16 mengisahkan tentang Maria yang mengunjungi kubur Yesus pada pagi buta pada hari pertama minggu itu. Awalnya, Maria mengira mayat Yesus telah dicuri karena dia menemukan kubur itu kosong. Hal itulah yang menimbulkan kegelisahan dan kekuatiran baginya. Maria pun sangat bersedih hingga menangis. Hingga akhirnya dia berjumpa dengan Yesus yang telah bangkit sekalipun dia belum mengenalnya. Maria mengira bahwa Yesus itu adalah penjaga taman. Namun ketika Yesus memanggil sambil menyebut namanya, maka dia pun mengenali-Nya sambil menyebutnya "Guru". Ada beberapa hal yang perlu dipelajari, yakni:

  • Berpaling kepada sang hidup adalah titik awal untuk mengerti dan memahami peristiwa kebangkitan-Nya (ay. 14)

Banyak orang yang sulit mempercayai kepada kebangkitan Yesus karena mereka berdiri di depan dan membelakangi Yesus. Mereka umumnya lebih mengedepankan logika, kemampuan, serta kepintarannya, sehingga mereka tidak dapat menemukan kebenaran tentang kebangkitan Yesus yang berujung kepada ketidakyakinan mereka kepada peristiwa kebangkitan Yesus.

Bukankah sikap yang semacam ini juga ditunjukkan oleh Thomas ketika dai skeptik kepada kebangkitan Yesus, sampai akhirnya dia berjumpa dengan Yesus yang bangkit dan mengalami pembaruan sehingga menjadi percaya kepada peristiwa itu. Sampai pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa itu merupakan titik awal baginya untuk mengalami perubahan radikal yang membawanya kepada sikap total mengikut Yesus hingga akhirnya dia pergi menjadi misionaris ke India untuk memberitakan berita kebangkitan Yesus.

Memang berpaling kepada sang hidup akan memberikan kehidupan kekal kepada kita, namun sebelum sampai kepada titik itu, kita perlu mengerti dan memahami peristiwa itu. Hal ini pulalah yang dilakukan oleh Maria seperti yang dikisahkan dalam ayat 14. Dikatakan, "Dia menoleh ke belakang dan melihat Yesus berdiri di situ, tetapi ia tidak tahu bahwa itu adalah Yesus". Pada BIMK, ungkapan menoleh diterjemahkan dengan menengok. Artinya sebelumnya Maria membelakangi Yesus, namun kemudian menengok atau menoleh atau bisa juga dipahami berpaling kepada Yesus, dan itu menjadi titik awal bagi Maria untuk mengenali peristiwa kebangkitan Yesus bahkan mengenali Yesus secara pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun