Mohon tunggu...
M. Auliya Adhytama
M. Auliya Adhytama Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hello!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Idul Adha, Tentang Melepas Bukan Hanya Mengorbankan

7 Juni 2025   08:25 Diperbarui: 7 Juni 2025   08:25 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tahun, jutaan umat Islam di seluruh dunia memperingati Idul Adha dengan penuh semangat. Di Indonesia sendiri, gema takbir menggema dari masjid ke masjid, hewan kurban dipersiapkan, dan masyarakat berkumpul untuk menyaksikan prosesi penyembelihan. Namun, di tengah hiruk-pikuk ritual dan rutinitas yang berjalan nyaris otomatis, ada sesuatu yang jarang disadari oleh banyak orang bahwa Idul Adha bukan hanya soal mengorbankan, tapi juga soal melepaskan.

Seringkali kita terjebak dalam pemahaman yang sempit yaitu Idul Adha semata-mata tentang menyembelih hewan kurban dan berbagi daging. Padahal, jika kita menyelami lebih dalam, esensi kurban yang diwariskan dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya tentang pengorbanan fisik, melainkan tentang keberanian melepaskan sesuatu yang paling kita cintai demi kebaikan yang lebih besar.

Kisah Nabi Ibrahim yang rela menyembelih putranya, Ismail, adalah kisah monumental dalam sejarah keimanan. Namun, banyak dari kita yang berhenti pada titik "kesiapan berkurban" tanpa melanjutkan pada dimensi yang lebih personal, apa sebenarnya yang harus kita korbankan dalam hidup ini? Dan lebih dari itu, apa yang harus kita lepaskan?

Mengorbankan tidak selalu berarti kehilangan secara fisik. Kadang yang lebih sulit adalah melepaskan keterikatan emosional terhadap sesuatu yang sudah mengakar dalam diri entah itu ambisi, ego, kemarahan, dendam, atau bahkan seseorang yang sudah tidak lagi baik bagi jiwa kita. Inilah yang sering terlewatkan dalam refleksi kita setiap Idul Adha.

Idul Adha seharusnya menjadi momentum kita bertanya pada diri sendiri: apa yang selama ini terlalu kita genggam erat, sampai-sampai menyesakkan napas rohani kita sendiri?

Di era sekarang, salah satu bentuk "kurban" yang paling sulit dilakukan adalah mengorbankan ego. Kita hidup dalam dunia yang menuntut untuk "selalu terlihat benar", "selalu unggul", dan "selalu menang". Media sosial pun menjadi panggung yang menonjolkan pencitraan diri, dan kita terjebak dalam perlombaan yang tak pernah usai.

Namun, Idul Adha seolah datang untuk mengetuk hati, apakah kita siap melepaskan ego walau hanya sejenak? Apakah kita cukup lapang untuk meminta maaf lebih dulu, atau mengalah dalam konflik yang tiada ujung? Mungkin bukan kambing atau sapi yang seharusnya dikurbankan, tapi kesombongan dan keakuan yang mengeras di dada.

Demikian pula soal kepemilikan. Kadang kita terlalu lekat dengan benda, jabatan, atau relasi yang membuat kita lupa bahwa semua itu hanya titipan. Melepaskan bukan berarti tidak menghargai, tapi sadar bahwa segala hal di dunia ini adalah fana. Dan justru dalam kesadaran itu, kita bisa hidup lebih ringan.

suasana kurban | dokpri
suasana kurban | dokpri

Kita juga kerap terpaku pada teknis kurban jumlah hewan, berat daging, siapa yang dapat dan siapa yang tidak. Tentu ini penting sebagai bagian dari keadilan sosial. Namun yang tak kalah penting dan sering terlupakan adalah bagaimana kita turut mendistribusikan nilai-nilai pengorbanan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun