Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Demi Investasi, Miras Dilegalisasi !

4 Maret 2021   23:22 Diperbarui: 5 Maret 2021   06:56 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adhe Ismail Ananda, S.H, M.H (Dosen Hukum dan Syariah IAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka) Dokpri

Dampak ekonomi yang ditimbulkan karena adanya pandemic covid 19 membuat pemerintah mencari solusi agar dampak tersebut dapat teratasi. Setelah pemerintah Bersama dengan DPR sahkan UU Cipta kerja yang juga meropakan produk legislasi dalam kondisi covid 19 yang tentuanya menuai pro kontra bahkan sampai pada aksi demontrasi penolakan. 

Salah satu konsekuensi dari adanya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah lahirnya aturan turunan sebagai bentuk pelaksanaan dari UU tersebut, walaupun salah satu alasan dari lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut dengan metode Omnibuslaw adalah sebagai bentuk penyederhanaan legislasi di Indonesia yang begitu banyak, tetapi dengan diundangkannya uu ciptake tersebut justru akan melahirkan 42 aturan turunan dengan rincian 37 Peraturan Pemerintah dan 5 Perpres sebagai bentuk peraturan turunan dalam implementasi kebijakan dan pelaksanaan uu CIpta Kerja.

Dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta, Pemerintah membuka 14 bidang usaha untuk investasi yang juga menjadi alasan lahirnya UU ciptaker ini. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah minuman keras mengandung alkohol. Omnibus law tersebut mengubah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Salah satu poin yang diubah ialah Pasal 12 mengenai bidang usaha yang terbuka dan tertutup untuk investasi.

UU Cipta Kerja menyebutkan, semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. 

Didalam UU Cipta Kerja diatur mengenai 6 bidang yang tetap tertutup, yakni budi daya dan industri narkotika golongan I, segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino, dan penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), pemanfaatan atau pengambilan koral dan pemanfaatan atau pengambilan karang dari alam yang digunakan untuk bahan bangunan/ kapur/ kalsium, akuarium, dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati dari alam; industri pembuatan senjata kimia; dan industri bahan kimia industri dan industri bahan perusak lapisan ozon.  

Sebelumnya, Pasal 12 ayat (2) UU Penaman Modal menyebutkan, bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang, dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

Adapun bidang usaha yang tertutup untuk investor asing dan domestik ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal mengatur 20 bidang usaha yang tertutup untuk investasi. 

Berdasarkan Perpres tersebut, tanpa 6 bidang yang tetap tertutup dalam UU Cipta Kerja, maka 14 bidang usaha yang dibuka ialah pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam, industri pembuat Chlor Alkali dengan Merkuri, bahan aktif pestisida, minuman beralkohol, minuman beralkohol berbahan anggur, minuman mengandung malt. 

Begitupun yang diatur dalam aturan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dan isu hangat yang diperbincangkan public, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Dalam Pasal 6 Perpres No 10 Tahun 2021 disebutkan semua jenis penanam modal diperbolehkan investasi di jenis usaha ini dengan persyaratan penanaman modal untuk Penanam Modal dalam negeri. 

Kemudian persyaratan penanaman modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing dan persyaratan dengan perizinan khusus. Persyaratan untuk penanaman modal industri miras ini dibatasi pada wilayah tertentu yakni Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua dan dimungkinkan daerah lain dengan syarat ditetapkan Kepala BPKM atas usulan gubernur.

Menurut penulis, jika ketentuan diatas dianggap sebagai upaya legalisasi terhadap miras, maka sebaiknya perlu ditinjau ulang. Mengapa ditinjau ulang bukannya dicabut? Sebab kita harus melihat persoalan ini secara komperhensif. 

Jauh sebelum adanya ketentuan-ketentuan diatas yang terkesan melegalkan miras, bahkan sejak orde baru, terdapat dalam bentuk perpres yang mengatur mengenai peredaran miras di Indonesia, yaitu Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang dikeluarkan sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 42/P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 mengenai uji materiil terhadap Keputusan Presiden  Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol (Kepres 3/1997) terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, Seluruh jenis minuman yang dimaksud ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan, Yang dimaksud dengan pengawasan ialah pengawasan terhadap pengadaan (baik produksi dalam negeri maupun impor) serta peredaran dan penjualannya.

Jadi Peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol dilakukan terbatas, dilihat dari subjek yang dapat melakukan penjualan maupun tempat penjualan. Meskipun ada kemungkinan bahwa Kepala Daerah dapat menetapkan tempat tertentu sebagai tempat penjualan Minuman Beralkohol, bahwa yang dapat mengkonsumsi Minuman Beralkohol hanya mereka yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, atau kepada konsumen tertentu dalam kondisi tertentu, dan adanya kewajiban untuk memperlihatkan kartu identitas, seperti KTP maupun passport.

Atas dasar pertimbangan inilah kemudian penulis beranggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang diatas yang berpotensi bahkan sudah melegalkan miras perlu ditinjau ulang. 

Sebab suatu peraturan perundang-undangan yang baik adalah yang sesuai dengan aspek filosofis, yuridis dan sosiologisnya sehingga pemerintah tidak hanya punya peran dan perhatian pada aspek ekonomi tetapi juga harus memikirkan aspek moral dan kesehatannya. 

Sudah banyak kejadian dan peristiwa hukum yang terjadi akibat penggunaan miras ini, sehingga hal tersebut patut menjadi bahan pertimbangan. Belum lagi respon public khususnya para tokoh lintas agama yang mengecam kebijakan tersebut.

Mungkin karena pertimbangan tersebut hingga akhirnya presiden dalam siaran pers virtualnya mencabut lampiran izin miras dalam Perpres No 10 Tahun 2021. Justru hal ini memperlihatkan bagaimana kondisi dan kemampuan kualitas pemerintah dalam mengahsilkan produk hukum yang berkualitas. 

Tetapi Ketika semua bersepakat untuk melakukan penolakan terhadap legalisasi miras maka harus konsiten, dengan demikian tidak cukup hanya mencabut Kembali Lampiran dalam Perpres No 10 Tahun 2021 tetapi juga terhadap Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang selama kurang lebih 8 tahun telah berjalan dan dibiarkan berlaku, dimana didalamnya mengatur mengenai minuman beralkohol yang bisa beredar dan dijual dilokasi yang ditentukan, kemudian terbitkan larangan penjualan miras di Indonesia.

Salah satu bentuk konsistensi penolakan terhadap miras adalah dengan segera mensahkan draf RUU Anti Miras menjadi UU Anti Miras yang sekarang tengah digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berdasarkan usulan tiga partai yakni Gerindra, PPP, dan PKS. Ini tentunya butuh perhatian Bersama antara Pemereintah dan DPR untuk tidak hanya mementingkan aspek ekonomi belaka sebagai akibat dari adanya pandemi covid-19. Aspek Kesehatan dan moral bangsa juga harus menjadi perhatian khusus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun