Metodologi dakwah pada dasarnya berbicara tentang cara menyampaikan pesan Islam agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Di era digital seperti sekarang, pendekatan tradisional saja tidak cukup, terutama ketika sasaran dakwah adalah Generasi Z yang lahir dan tumbuh bersama teknologi. Azhar Arsyad dalam Metodologi Dakwah (2011) menekankan bahwa metode dakwah tidak bisa stagnan, melainkan harus menyesuaikan dengan perubahan zaman serta pola komunikasi masyarakat.
Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang sangat akrab dengan internet, terbiasa berpikir cepat, dan sering kali kritis terhadap otoritas. Itu sebabnya dakwah yang bersifat satu arah kurang efektif untuk mereka. Jalaluddin dalam Psikologi Agama (2012) menegaskan bahwa pendekatan emosional yang menumbuhkan rasa nyaman jauh lebih berpengaruh dibanding sekadar memberi instruksi. Dengan kata lain, dakwah untuk Generasi Z perlu mengedepankan dialog, empati, dan contoh nyata.
Selain itu, dakwah juga tidak boleh abai terhadap realitas sosial yang dihadapi anak muda. Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Masalah Kenegaraan (1985) menyatakan bahwa dakwah harus turun langsung ke problem masyarakat, bukan hanya membahas hal-hal normatif. Bagi Generasi Z, isu seperti kesehatan mental, peluang kerja, atau ketidaksetaraan sosial merupakan bagian dari keseharian mereka. Metodologi dakwah yang relevan tentu harus mampu menyinggung persoalan ini dan memberi perspektif Islami yang membangun.
Perubahan besar lainnya terletak pada ranah digital. Heidi Campbell dalam Digital Religion (2013) menunjukkan bahwa praktik keagamaan kini juga berlangsung di media sosial, forum daring, dan ruang virtual lain. Bagi Generasi Z, platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube bukan sekadar hiburan, melainkan ruang belajar sekaligus diskusi. Maka, dakwah sebaiknya hadir di sana dengan konten yang kreatif, ringkas, dan komunikatif.
Namun, kreativitas saja tidak cukup. Dakwah tetap harus dijaga dengan etika. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Da'wah (1998) menekankan pentingnya kebijaksanaan, kesabaran, dan keadilan dalam menyampaikan ajaran Islam. Jika etika diabaikan, dakwah di ruang digital bisa berubah menjadi provokasi yang justru menjauhkan anak muda dari nilai-nilai agama.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa dakwah kepada Generasi Z memerlukan metode yang adaptif dan ramah. Ia harus mampu menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan pendekatan psikologi, sensitivitas sosial, serta pemanfaatan teknologi digital, tanpa kehilangan etika dasar. Dengan demikian, dakwah benar-benar bisa menyapa generasi muda di tempat mereka berada, baik di dunia nyata maupun ruang virtual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI