Aku adalah pengagum rahasianya.
Aku memang tidak mengetahui namanya –dia pun barangkali tidak mengetahui namaku juga. Dia bukan manusia tercantik yang pernah ada, namun dialah bidadariku. Idolaku.
Dan di sinilah aku, menunggunya pagi itu. Berdiri di balik pohon tak jauh dari rumahnya, sedikit gelisah. Seharusnya dia sudah keluar, waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Nampaknya dia terlambat.
Ah, dugaanku benar. Dia memang terlambat. Tergopoh-gopoh, dia kenakan sepatu high-heel-nya, sebelum berlari-lari kecil menyeberangi pekarangan rumah.
Dia begitu terburu-buru. Sepertinya tak ada waktu baginya untuk menyadari keberadaanku. Sepertinya tak ada waktu bagi kami tuk saling berbalas senyum. Sepertinya tak ada. Tapi biarlah. Kupendam asa itu untuk sore hari, saat dia pulang kerja.
Untuk pagi ini, cukuplah bagiku memandangi sosoknya dari belakang. Tubuh sintal montoknya, yang dibalut kemeja serta rok pensil serasi, menghilang di kelokan jalan.
Bidadariku… kan kutunggu kedatanganmu sore nanti…
Aku sudah memujanya sejak… entahlah… beberapa bulan belakangan. Kami bertetangga, namun baru saling kenal beberapa bulan yang lalu. Mengherankan, kan? Itu pun setelah dia mengajakku mengobrol dan menawariku makan.
Tidak, aku tidak mengaguminya karena dia mengajakku makan (ya, dia koki yang hebat, dan aku menyukai masakannya). Aku mengaguminya lebih dari itu. Aku mengagumi selera humornya, mengagumi senyumnya, mengagumi tawanya, kehangatannya, keramahannya, sifat penyayangnya… Dia bidadari dalam wujud manusia.
Sejak saat itu… aku semakin merindukannya, ingin selalu dekat dengannya, terobsesi padanya. Sering kali kumengendap-endap ke rumahnya, berharap dapat menemukan sosoknya di dalam sana.
Aku suka mengawasi setiap aktifitasnya. Kusuka melihatnya tidur-tiduran di sofa sembari membaca buku, kusuka melihatnya memasak di dapur, mengintipnya mandi, mengawasinya atau menguping obrolannya saat menelepon. Namun yang paling kusuka adalah melihatnya tidur. Nyaris tiap malam kupanjat pohon dekat jendela kamarnya, bertengger di salah satu dahan, menemaninya terlelap dalam damai.
Melihat raut wajah tentramnya, yang tengah mengembara di alam mimpi, membawa kebahagiaan tersendiri dalam hatiku.
Sering kali kuberharap dapat berada di sana, di sampingnya, menemaninya, tidur bersama. Ingin sekali kuberbaring di pahanya sewaktu dia membaca buku di sofa, mengganggunya saat dia masak, menunggunya kala dia mandi, bercanda dengannya, bermain, tertawa, berangkulan, menjilati pipinya dengan penuh cinta.
Terlalu mulukkah impianku itu? Mungkin saja…
Sore hari, langit merona malu-malu. Bidadariku akan pulang sebentar lagi. Kuharap dia tidak terlambat. Kupandangi ujung jalan di bawah pohon, menunggunya, menunggunya, dan menunggunya. Dengan hati berdebar-debar, kumenanti kemunculan sosok pujaanku itu.
Akhirnya, dia muncul, melangkahkan kakinya dengan tangkas penuh percaya diri. Wajahnya nampak lelah tapi senyum tetap mengembang di sana.
Dia datang! Bidadariku datang! Apa yang harus kulakukan?
Mendadak, aku jadi salah tingkah. Maunya sih kusambangi dia, sekedar memberi sapaan kecil, saling lempar-melempar seulas senyum. Namun, ah, aku terlalu malu… Haruskah? Mestikah? Beranikah?
“Hei!”
Aku terkejut. Tubuhku membeku di tempat. Dia menyapaku?
“Hei, kamu! Kemarilah!”
Be-Benar! Dia menyapaku! Ya ampun, ini benar-benar di luar dugaan! Padahal aku baru saja akan kabur, menyelinap ke balik pagar rumah, karena terlalu malu untuk menyapanya.
Tapi sekarang tidak lagi. Dia memanggilku. Tak ada alasan bagiku – kendati masih berniat untuk kabur saking malunya – untuk tidak memenuhi panggilannnya. Maka, sedikit ragu-ragu, kuhampiri dirinya.
Dia tersenyum menenangkan. Aku balas tersenyum padanya. Dia berjongkok, lalu mengelus-elus kepalaku.
“Halo kucing manis… Apa kabarmu?”
Kabarku? Luar biasa…
***
[A short story by Adham T. Fusama]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H