Dampak dari kasus ini meluas pada beberapa lapiasan. Pertama, korban yang menjadi korban human trafficking mengalami trauma psikologis yang mendalam, termasuk rasa takut, stress, hingga gangguan kecemasan pasca peristiwa. Mereka juga mengalami kehilangan rasa kepercayaan terhadap tawaran kerja, bahkan kepada institusi yang seharusnya melindungi mereka. Bagi para keluarga korban, kasus ini menimbulkan beban emosional dan finansial. Banyak keluarga merasa bersalah karena mendorong anak mereka bekerja di luar negeri. Selain itu, keluarga juga kerap harus menanggung biaya pemulangan atau perawatan korban setelah kembali ke tanah air (ProKalteng, 2024).
PANDANGAN PRIBADI PENULIS
Menurut saya, kasus ini adalah cerminan dari kegagalan kolektif. Individu memang salah karena kurang berhati-hati, tetapi yang lebih mendasar adalah lemahnya sistem perlindungan dan literasi di Indonesia sehingga kita dapat melihat bahwa masyarakat masih rentan terhadap iming-iming “jalan pintas menuju sukses”. Tawaran gaji fantastis lebih cepat dipercaya ketimbang mencari pekerjaan yang realistis.
Dilain sisi, pemerintah juga belum cukup tegas dalam menindak para pelaku perekrut tenaga kerja ilegal. Jadi, kasus ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi juga peringatan keras bahwa dalam era digitalisasi saat ini, kejahatan lintas negara semakin mudah menyasar kelompok rentan. Korban bukanlah seorang pelaku, mereka adalah orang-orang yang terjebak. Maka dari itu, solusi harus menyentuh akar permasalahan, bukan hanya memadamkan api yang berada di permukaan saja.
ANALISIS SOLUSI
Beberapa hal yang harus diselesaikan dari masalah ini adalah :
1. Pemerintah harus gencar melakukan edukasi literasi digital kepada masyarakat Indonesia dan sosialisasi modus perekrutan kerja palsu (BP2MI, 2025). Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang ciri-ciri lowongan kerja yang mencurigakan dan bagaimana memverifikasi legalitas perusahaan. Selain itu, fungsi pengawasan juga harus digalakkan terhadap para perekrut tenaga kerja, termasuk di media sosial. Pemerintah Indonesia juga harus melakukan kerja sama diplomasi antar negara untuk mempersempit ruang gerak sindikat lintas negara.
2. Penegakan hukum yang keras terhadap para pelaku perekrut tenaga kerja ilegal dan agen tidak resmi yang berada di Indonesia (BeritaSatu, 2024). Dilain sisi, evakuasi bagi para korban yang terjebak di luar negeri harus dipercepat (Tempo, 2022). Koordinasi dengan kedutaan besar, konsulat, serta lembaga internasional perlu diperkuat agar proses pemulangan tidak berlarut-larut. Keluarga korban juga harus mendapatkan pendampingan hukum, salah satunya dengan cara menyediakan bantuan hukum gratis agar mereka dapat memperjuangkan hak-hak anggota keluarganya.
3. Banyak para korban yang mengalami trauma psikologis harus mendapatkan pemulihan melalui konseling trauma. Pemulihan mental ini penting agar korban tidak selalu dihantui pengalaman yang pahit dimasa lalu. Selain itu, pemerintah juga harus melatih para calon pekerja dalam pelatihan keterampilan agar korban bisa kembali produktif dan juga, kampanye mengenai anti-stigma terhadap para korban human trafficking harus dijalankan agar para korban tidak dipandang sebagai pelaku kejahatan, melainkan sebagai pihak yang dieksploitasi (BP2MI, 2025)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI