Mohon tunggu...
Ade Shafira
Ade Shafira Mohon Tunggu... Praktisi Hukum

Saya merupakan Konsultan Hukum dan seorang Mahasiswi Magister Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jejak Uang Kotor : Menelusuri Potensi Pencucian Uang Dalam Bisnis Skincare Online Di Indonesia

13 Juni 2025   21:10 Diperbarui: 13 Juni 2025   21:30 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, industri skincare di Indonesia tumbuh secara signifikan, didorong oleh meningkatnya kesadaran akan perawatan diri dan penetrasi platform digital. E-commerce dan media sosial menjadi saluran utama dalam distribusi produk skincare, termasuk yang diproduksi oleh pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Banyak pelaku bisnis memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, Shopee, dan Tokopedia untuk memasarkan produk kecantikan, termasuk skincare lokal. Di tengah pertumbuhan tersebut, muncul kekhawatiran bahwa industri ini dapat disalahgunakan dan dapat mengaburkan batas antara bisnis legal dan illegal. Peningkatan transaksi dalam industri skincare berbasis digital di Indonesia memunculkan tantangan hukum baru dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Produk skincare, yang kerap dipasarkan melalui media sosial dan platform e-commerce, kini menjadi saluran potensial untuk menyamarkan hasil kejahatan. Pola transaksi daring yang relatif sulit dilacak dan terbatasnya kewajiban hukum terhadap pelaku usaha kecil menyebabkan sektor ini rawan dimanfaatkan oleh pelaku TPPU.

Bisnis skincare bersifat low entry barrier yang mudah dimasuki tanpa legalitas formal. Hal  Ini membuatnya sangat rentan dijadikan sarana pencucian uang. Pelaku dapat menyamarkan dana hasil kejahatan (korupsi, narkotika, cyber fraud) ke dalam rekening bisnis skincare yang tampak legal, kemudian menariknya sebagai "laba usaha". Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2010 menyatakan bahwa pencucian uang adalah tindakan menyamarkan, menyembunyikan, atau menempatkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Pasal 2 UU ini menyebutkan bahwa tindak pidana asal termasuk korupsi, narkotika, penipuan, dan tindak pidana lainnya yang memiliki motif ekonomi. Sayangnya, pelaku usaha skincare online tidak termasuk dalam subjek pelapor yang wajib melaporkan transaksi mencurigakan kepada PPATK. Banyak pelaku bisnis yang  produk skincarenya tidak memiliki izin BPOM namun produk tetap dijual bebas. Pelaku usaha skincare tidak  membuat pelaporan bagi usaha skincare mikro kepada otoritas keuangan.

Berdasarkan  laporan PPATK, sektor non-keuangan seperti perdagangan online menunjukkan tren peningkatan dalam dugaan transaksi mencurigakan, namun belum seluruhnya terintegrasi dalam sistem pelaporan resmi. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pelaku bisnis menjual  produk dengan transaksi fiktif melalui marketplace. Marketplace belum mewajibkan prinsip Know Your Business (KYB). Prinsip Know Your Business (KYB) adalah pengembangan dari prinsip Know Your Customer (KYC) yang lebih berfokus pada verifikasi identitas dan keabsahan entitas bisnis, bukan hanya individu. Dalam konteks marketplace, prinsip KYB menjadi semakin penting untuk mencegah penyalahgunaan platform dalam tindak pidana seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, penipuan, dan perdagangan ilegal.

Dalam hal ini perlu adanya urgensi terhadap pengawasan hukum kepada pelaku usahan penjualan skincare di Indonesia agar tidak adanya potensi pencucian uang. Adapun urgensi yang dapat dilakukan berupa:

  • Melakukan revisi UU TPPU untuk memperluas kategori subjek pelapor, termasuk usaha mikro online di sektor kosmetik.
  • Dengan membuat sistem pelaporan digital antar lembaga seperti marketplace, PPATK, dan otoritas pajak.
  • Peningkatan pengawasan oleh BPOM terhadap produk skincare yang beredar tanpa izin.
  • Edukasi hukum dan literasi digital untuk pelaku UMKM skincare agar tidak terjebak menjadi saluran pencucian uang pihak lain.

Urgensi dalam pengawasan industri skincare perlu dilakukan . Menggingat industri skincare online di Indonesia berpotensi menjadi jalur pencucian uang karena karakteristiknya yang fleksibel, sulit diawasi, dan berbasis digital. Perlindungan hukum belum maksimal karena belum menjangkau struktur informal dalam sektor ini. Diperlukan sinergi antara PPATK, OJK, BPOM, dan Kementerian Perdagangan untuk membangun sistem yang mampu memutus rantai pencucian uang yang tersembunyi di balik industri yang tampak “glowing”. 

Karya Tulis ini dibuat oleh : Ade Shafira, S.H. Magister Ilmu Hukum. Universitas Sumatera Utara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun