Tujuannya bukan sekadar merayakan, tetapi juga untuk membangkitkan kecintaan umat, menumbuhkan semangat jihad, dan memperkuat persatuan. Dari sinilah Maulid Nabi mulai menyebar ke berbagai wilayah Islam, termasuk ke Nusantara.
Tradisi Maulid di Nusantara dibawa oleh para ulama. Di Jawa, Wali Songo menjadikan Maulid sebagai media dakwah dengan memadukan nilai Islam dan budaya lokal, misalnya melalui slametan, pembacaan Barzanji, seni rebana, dan marhaban. Cara ini membuat masyarakat mudah menerima ajaran Islam tanpa merasa tercerabut dari budaya setempat.
Sejak itu, Muludan tidak lagi sekadar ritual tahunan, tetapi juga menjadi pesta rakyat yang sarat makna religius, sosial, sekaligus penguatan identitas budaya Nusantara.
Ketika Kesultanan Banten berdiri pada abad ke-16, tradisi Muludan mendapat tempat istimewa. Sultan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, bersama para ulama menjadikannya acara resmi kerajaan. Perayaan ini bukan hanya bernuansa spiritual, tetapi juga menjadi sarana mempererat hubungan antara ulama, bangsawan, dan rakyat.
Hingga kini, perayaan Muludan di Banten tetap hidup dengan berbagai bentuk. Tradisi marhabanan, tabuhan rebana, tahlilan, dan pengajian akbar menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Selain itu, ada pula pawai kendaraan yang dihiasi ornamen khas Banten seperti ukiran, kaligrafi, dan simbol-simbol Islami. Kendaraan tersebut diarak keliling kampung hingga kota, menambah semarak suasana sekaligus menjadi media syiar yang menarik perhatian masyarakat luas.
Tradisi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Banten memadukan nilai spiritual dan tradisi lokal dalam merayakan Maulid Nabi.
Muludan sebagai Syiar Islam di Banten
Tak bisa dipungkiri, Muludan memiliki fungsi strategis sebagai syiar Islam. Melalui kisah hidup Nabi, masyarakat diajak meneladani akhlak mulia beliau. Melalui doa dan shalawat, umat diperkuat rasa cintanya kepada Rasulullah. Melalui pawai, rebana, dan pengajian, nilai-nilai Islam tersampaikan dengan cara yang edukatif sekaligus meriah.
Walhasil, lantaran syiar yang konsisten ini, Islam menjadi nilai hidup masyarakat Banten. Agama tidak hanya dipahami sebagai ritual, tetapi juga dijadikan pedoman sosial dan budaya.
Hal ini tampak dari kuatnya peran ulama dalam kehidupan masyarakat, banyaknya pesantren, serta tetap terjaganya tradisi keislaman meskipun modernisasi terus masuk.
Hingga kini, daerah saya masih dikenal dengan sebutan “Kota Santri” dengan “Seribu Ulama, Sejuta Santri.” Dari Pandeglang hingga Lebak, terdapat ribuan pesantren besar maupun kecil. Kehidupan santri yang akrab dengan Al-Qur’an, kitab kuning, dan shalawat menjadi wajah keseharian masyarakat. Ulama dan kiai dihormati, bahkan dijadikan rujukan dalam persoalan sosial maupun politik.
Semua ini menunjukkan bahwa syiar Islam di Banten tidak berhenti pada perayaan besar saja, tetapi benar-benar menyatu dalam keseharian masyarakat. Inilah yang membuat masyarakat tetap teguh menjaga ajaran Islam meskipun zaman terus berubah.