Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, sering kali dipandang sebagai "permata" dalam perekonomian global. Namun, seperti yang diungkapkan John Pilger dalam The New Rules of the World, kekayaan ini justru menjadi sumber eksploitasi sistematis oleh kekuatan asing selama era Orde Baru (1966-1998). Mulai dari eksploitasi tambang hingga tenaga kerja, kisah Indonesia mencerminkan bagaimana globalisasi, jika tidak dikelola dengan baik, dapat membawa kemiskinan struktural bagi mayoritas rakyat.
Pada tahun 1967, Konferensi Investasi Internasional di Jenewa menandai awal liberalisasi ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto. Pemerintah membuka akses besar-besaran bagi perusahaan asing untuk mengeksplorasi sektor pertambangan, minyak, dan gas. Salah satu perusahaan besar yang masuk adalah Freeport McMoRan, yang memperoleh hak pengelolaan tambang Grasberg di Papua, tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Meskipun tambang ini menghasilkan miliaran dolar setiap tahun, Indonesia hanya menerima royalti kecil, tidak lebih dari 1% dari total produksi selama beberapa dekade.
Selain sektor tambang, eksploitasi meluas ke tenaga kerja Indonesia yang menjadi tulang punggung industri global. Pada 1990-an, pabrik-pabrik perusahaan multinasional seperti Nike, Adidas, dan GAP banyak berdiri di kawasan Jabodetabek dan Jawa Timur. Perusahaan GAP, misalnya, memproduksi sebagian besar pakaiannya di pabrik Indonesia dengan memanfaatkan tenaga kerja murah. Studi kasus di Tangerang menunjukkan bahwa pekerja perempuan di pabrik GAP sering kali menerima upah di bawah standar, sekitar Rp10.000 per hari, dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi, seperti jam kerja panjang tanpa istirahat yang memadai.
Eksploitasi tenaga kerja ini mencerminkan bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional memanfaatkan kelonggaran regulasi di negara berkembang. Para pekerja tidak hanya harus menghadapi upah rendah, tetapi juga tidak memiliki perlindungan hukum yang cukup, seperti jaminan sosial atau kompensasi yang layak. Dalam kasus pabrik GAP di Bekasi pada tahun 1998, serangkaian protes pekerja untuk menuntut kenaikan upah minimum dibubarkan dengan kekerasan, menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak buruh di Indonesia.
Krisis ekonomi Asia pada 1997 memperburuk kondisi ekonomi Indonesia. Dengan nilai tukar rupiah yang anjlok hingga Rp16.000 per dolar AS, jutaan pekerja kehilangan pekerjaan, sementara biaya hidup melonjak. Perusahaan multinasional seperti GAP bahkan mengurangi produksi di Indonesia karena ketidakstabilan ekonomi, yang semakin menambah beban masyarakat. Selain itu, utang luar negeri Indonesia yang sudah tinggi membuat negara ini terpaksa mengikuti program penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF, yang mencakup privatisasi aset-aset negara dan pengurangan subsidi.
Ketimpangan ekonomi ini tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal, tetapi juga oleh kebijakan dalam negeri yang tidak memprioritaskan rakyat. Selama Orde Baru, keuntungan dari kerja sama dengan perusahaan asing lebih banyak mengalir ke elit politik dan korporasi dibandingkan kepada masyarakat lokal. Pada awal 2000-an, sekitar 70 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara negara-negara maju menikmati manfaat dari produk murah yang dihasilkan buruh Indonesia.
Namun, upaya untuk memperbaiki situasi mulai muncul setelah reformasi 1998. Pemerintah mulai menegosiasikan ulang kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing. Pada 2018, Indonesia berhasil meningkatkan royalti Freeport hingga 51%. Meski langkah ini positif, masih banyak tantangan dalam memastikan bahwa hasil kekayaan ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat Indonesia.
Diversifikasi ekonomi menjadi solusi penting lainnya. Pemerintah mulai mendorong pengembangan sektor manufaktur elektronik, seperti di kawasan Batam, yang menarik investasi asing tetapi tetap memberikan manfaat bagi ekonomi lokal. Contohnya adalah pabrik elektronik yang bekerja sama dengan perusahaan Jepang dan Korea Selatan, menghasilkan ekspor bernilai tinggi.
Selain itu, regulasi perlindungan buruh perlu diperkuat. Pada 2014, pemerintah meluncurkan program jaminan sosial BPJS untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja. Meski implementasinya masih jauh dari sempurna, langkah ini menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kondisi tenaga kerja di Indonesia.
Di sektor lingkungan, berbagai gerakan masyarakat sipil mulai berhasil mendorong perubahan kebijakan. Pada 2010, protes masyarakat adat di Kalimantan berhasil menghentikan ekspansi perusahaan kelapa sawit besar, yang sering kali merusak hutan tanpa kompensasi bagi penduduk lokal. Gerakan ini menjadi contoh bagaimana kekuatan lokal dapat menantang dominasi perusahaan multinasional.
Meskipun globalisasi membawa tantangan besar, peluang tetap ada jika dikelola dengan baik. Melalui perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) pada 2022, Indonesia berhasil meningkatkan akses pasar bagi produk agrikultur dan manufakturnya. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan internasional dapat membawa manfaat besar jika dirancang untuk mendukung kedaulatan ekonomi nasional.