Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak
    Pemikiran tentang hak-hak anak mulai berkembang setelah perang dunia 1 sebagai respon terhadap penderitaan yang ditimbulkan oleh dampak peperangan, terutama terhadap perempuan dan anak-anak. Liga bangsa-bangsa tergerak oleh jumlah besar anak-anak yang menjadi korban atau menjadi yatim piatu akibat perang tersebut. Selain itu, aktivis perempuan juga melakukan protes dan menyoroti perlunya perhatian publik terhadap nasib anak-anak yang terdampak perang.
Dilansir dari child right internasional salah seorang diatara aktivis anak yang bernama Eglantyne Jebb yang merupakan pendiri dari Save The Children kemudian mengenmbangkan lima butir pertanyaan tentang hak anak (Declaration Of The Rights Of The Child) yang pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga Save The Children Fund Internasional Union. Kemudian pada tahun 1924 untuk pertama kalinya deklanasi hak anak diadosi secara internasional oleh perserikatan bangsa-bangsa untuk memberikan perhatian dan kesadarn berapa pentingnya pemenuhan hak anak-anak.
    Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia bersepakat menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak. Pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah Indonesia menandatangani Convention on the Rights of the Child  (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB yang diterima pada 20 November 1989. Konvensi tersebut mengatur berbagai hal yang harus dilakukan tiap negara agar tiap-tiap anak dapat tumbuh sehat, bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya dan diperlakukan dengan adil. Hal tersebut selaras dengan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan demikian, pemerintah Indonesia tidak hanya mengakui hakhak anak yang perlu dilindungi, tetapi juga mengakui tanggung jawab negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak tersebut.
    Di Indonesia, regulasi terkait perlindungan anak yang ditetapkan pertama kali adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut mengalami beberapa perubahan, mulai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hingga Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 2014. Undang-undang indonesia no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak mencakup berbagai masalah terkait anak, termasuk mereka yang menghadapi masalah hukum, dari kelompok minoritas, korban eksploitasi ekonomi dan seksual, perdagangan manusia, kerusuhan, pengungsian, dan konflik bersenjata. Namun, seiring waktu, undang-undang ini dianggap tidak efektif dalam melindungi anak-anak dari peningkatan kejahatan terhadap mereka di masyarakt, khususnya pelanggaran seksual. Oleh karena itu, perlu ada perubahan pada undang-undang ini untuk melindungi anak-anak dengan lebih baik.
    Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 bertujuan untuk memberikan sanksi pidana dan denda yang lebih berat bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera dan mendorong pemulihan fisik,psikis, dan sosial anak korban kejahatan. Meskipun undang-undang tersebut telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, namun tingkat kekerasan seksual terhadap anak belum menurun secara signifikan. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan peraturan pengganti Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Undang-Undang ini tidak hanya memeberatkan sanksi pidana, tetapi juga mencegah kekerasan terhadap anak. Pemerintah menambahakn pidana pokok berupa pidana mati, pidana seumur hidup, serta pengumuman identiras pelaku.
Selain itu, pemerintah juga menambahkan ketentuan mengenai tindakan kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Aspek Hak Keperdataan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menjelaskan bahwa perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orangtua. Di Indonesia, perlunya perlindungan terhadap anak didasarkan atas tiga pemahaman, yaitu:
Pertama, anak dipahami sebagai bagian dari warga negara yang wajib dilindungi oleh negara.
Kedua, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan yang di dalamnya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya.
Ketiga, anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Hak keperdataan anak dalam perspektif perlindungan anak, anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat, martabat sebagai hak asasinya yang harus dihormati dan berhak atas perlindungan dari berbagai ancaman/perlakuan demi pendidikan, kesejahteraan, keamanan, pertumbuhan anak masa depan. Berbagai aspek hak keperdataan terhadap perlindungan anak termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 memberi makna yang mencantumkan aspek individualitas (pribadi), aspek sosialitas (bermasyarakat), aspek non-diskriminasi, aspek persamaan di depan hukum bagi anak sebagai pemegang hak keperdataan yang perlu dilindungi dan berpengaruh di setiap kehidupannya.
Faktor Sosiologis Pembentuk Hukum
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terdapat beberapa faktor sosiologis dalam pembentukan hukumnya:
- Faktor Hukum atau Subtansi
Terkait perlindungan anak Indonesia, terdapat beberapa trobosan seperti meratifikasi konvensi hak anak yang didelekasikan pada tanggal 20 November 1989 melalui sidang majelis umum PBB, Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 dan dibentuknya suatu badan independen yaitu Komisi Perlindungan Anak, dari segi perundang-undangan. Putusan MK No. 018/ PUU-III/2005 menyatakan bahwa permohonan uji materiil pasal 86 UU Perlindungan Anak tidak dapat diterima. Ada beberapa polemik mengenai kebebasan anak dalam memilih agama sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Bila dicermati dengan seksama, dari segi yuridis maupun sosiologisnya memang tidak ada pertentangan dari faktor substansi hukumnya baik terhadap perundang-undangan diatasnya maupun ketentuan terkait perlindungan anak yang telah ada sebelumnya. Â Â Â Â
                                                             Â
- Faktor Penegak Hukum/ Struktur
Penegakan hukum dipengaruhi oleh para penegak hukum itu sendiri yang dikenal dengan istilah aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan sosial dalam masyarakat yang menuntut mereka berprilaku baik dan tidak melakukan korupsi. Jika mental mereka tidak berorientasi pada kebenaran hakiki dan keadilan bagi masyarakat, maka kepercayaan masyarakat terhadap mereka akan hilang.
- Faktor Masyarakat
Masyarakat dan lingkungan mempengaruhi penegakan hukum di indonesia melalui kesadaran hukum masyarakat yang mencakup pengetahuan, penghayatan fungsi, dan ketaatan pada hukum. Kurangnya kesadaraan hukum masyarakat dapat menghambat penegakan hukum, meskipun peraturan dan aparat pelaksanaannya baik. Kasus kekerasaan pada anak seringkali melibatkan peran masyarakat dan lingkungan. Kurangnya perhatian terhadap kekerasaan dan diskriminasi terhadap anak-anak dapat memperkuat praktek tersebut. Hal ini terbukti dari tingginya angka kekerasan oleh orang tua atau lingkungan tempat tinggal anak-anak yang memiliki keterbatasan ekonomi atau mental.
- Opini Publik
Dikutip dari koran tempo, kementrian pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sebanyak 30 persen anak laki-laki serta 40 Persen anak perempuan berusia 13-17 tahun mengalami setidaknya satu kekerasan dalam hidupnya pada 2022. Sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (Simfoni PPA) merekam total 8.447 laporan anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun tersebut. Selain itu studi wahana visi indonesia (WNI) pada 2017 menemukan 92,2 persen orang tua atau pengasuh memnggunakan hukuman fisik dan kekerasan terhadap anak sebagai mekanisme pendisiplanan. Artinya, baik diluar maupun di dalam rumah, anak sama-sama rentan menjadi korban kekerasan.
Layanan perlindungan sosial bagi anak korban kekerasan penting untuk mengurangi kerentanan anak mengalami kekerasan berulang (reviktimasi). Integrasi layanan perlindungan bagi anak dan perlindungan sosial harus dilakukan. integrasi ini akan memberikan dukungan atau layanan yang utuh dan membantu proses reintegrasi sosial korban. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI