Duh, rambutku sudah panjang. Rasanya gatel mlingker. Apalagi kalau dihujani keringat. Seribu persen rambutnya mengembang, bak brokoli. Itu kata-kata yang meluncur mulus dari bibir suamiku sambil memerhatikan rambutnya di cermin.
Biasanya kalau ada anak laki, mereka berdua yang asyik melakukan hal yang laki-laki gemari. Mereka berdiskusi tentang apa saja yang memang menjadi topik pembicaraan bapak dan anak. Sekarang anak lakinya tidak ada di rumah. Jadi emak lah yang sebentar lagi jadi sasaran.
Makanya, aku rasa sih mending diam saja. Tapi melirik juga dengan ujung mata. Mau menimpali mesti berkata apa, kan belum punya jalan keluar.
Akupun tahu di dalam hati suamiku, ada perasaan kurang nyaman. Apalagi di masa begini, pastilah aku pun memaklumi.
Mau keluyuran nyari tukang cukur, ada was-was sebelum berangkat. Hmm, cari ide barangkali ada solusi. Ternyata jalan keluar ada di depan mata.
"Mak, sini!"
"Ada apa?"
"Cukurin rambut saya?"
"Hah, cius nih. Gak bakalan nyesel kayak dulu?"
"Gak, lah. Kan sekarang sudah naik kelas dari debutan jadi junior. Masa ilmunya sama. Idealnya mesti beda."
"Ih, beda atuh. Beda jurusan. Kalau nulis pakai hati. Kalau nyukur bikin pitak, kan bisa sakit hati."