Mohon tunggu...
Ade Ira Cahyanti
Ade Ira Cahyanti Mohon Tunggu... Perawat - A nurse

life is about how useful you are

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Terhalang Restu karena Primbon Jawa

4 Juli 2020   00:05 Diperbarui: 4 Juli 2020   18:57 3267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan (sumber: pixabay.com)

Konon katanya anak perempuan yang memiliki ayah bersuku Jawa, akan ikut bersuku Jawa. Tetapi lain halnya anak perempuan yang memiliki ibu bersuku Padang, maka anak tersebut akan ikut bersuku padang. Dadine Aku iki wong opo to? awak ko suku apo a? 

Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan suku budaya tersebut. Fenomena seperti ini merupakan salah satu hal yang unik dan menarik di negara kita, bukankah begitu?

Setiap adat budaya memiliki ciri khas dan kebiasaan tertentu. Seperti dalam adat Jawa, rasanya kata primbon atau kejawen sudah familiar bukan? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, primbon didefinisikan sebagai kitab yang berisikan ramalan, buku yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib, sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur, dan mengurus segala macam kegiatan yang penting. 

Aku secara pribadi menghargai adanya primbon sebagai warisan leluhur suatu budaya, tetapi apakah hal tersebut benar atau sala? Wallahualam. Tuhanlah Yang Maha Berkuasa.

Cerita tentang primbon pun sebenarnya sudah tak asing lagi di telingaku. Sejak aku masih kecil, almarhumah Mbah buyut mahir sekali melakukan perhitungan Jawa setiap ingin mengadakan hajat atau bepergian kesuatu tempat.

Jari-jarinya yang sudah keriput juga tak menghilangkan semangat untuk menghitung siji, loro, telu, papat,limo, dst. Seperti itu kira-kira, aku tak tahu pasti dasar apa yang digunakan dalam perhitungan tersebut. 

Sampai suatu ketika, perhitungan Jawa akhirnya berlaku di hubunganku dengan Mas N. Bermula dari hitung-hitungan yang dilakukan oleh keluarga mas N, sehingga memutuskan bahwa melangkah ke jenjang berikutnya tak perlu dilakukan menimbang ketidakcocokan weton yang sudah mereka hitung dengan seksama.

Rasanya bertolak belakang dengan apa yang ada dihatiku. Apalagi aku anak kelahiran tahun 90-an yang tak tertarik dengan perhitungan weton semacam itu. Di keluarga Ayahku, hitung-hitungan seperti ini sudah memudar dan nyaris tidak diberlakukan lagi. 

Masyarakat Jawa perlu mengetahui tanggal, bulan dan tahun lahir. Entah dilihat dalam kalender Masehi atau kalender Jawa dikarenakan hal ini untuk melihat tanggal sebagai tanda weton seseorang

Berdasarkan kalender Jawa, aku lahir pada Rabu Pahing dan dinyatakan memiliki weton berjumlah 16, sedangkan Mas N lahir pada hari Rabu Legi sehingga wetonnya berjumlah 11. Kalau dijumlah maka hasilnya 27.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun