Mohon tunggu...
Ade Raichal
Ade Raichal Mohon Tunggu... Freelancer - Newbie

Untuk Mencari hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Filsafat dalam Menghadapi Pandemi

28 Mei 2021   11:33 Diperbarui: 28 Mei 2021   11:38 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opini dalam surat kabar dan portal berita memuat banyak pendapat tentang bagaimana menghadapi wabah virus Corona. Dari berbagai perspektif yang digunakan untuk menangani dan memahami pandemic seperti teologi, kedokteran, psikologi, dan ilmu social. Pandangan mahasiswa membantu khalayak untuk mengerti asal muasal mikroba, bagaimana mencegah penularannya, dan bertahan dalam keadaan terkekang. 

Secara medis misalnya, pesan dan kiat untuk mencegah virus diinformasikan di berbagai media, dan pihak-pihak terkait turun ke lapangan untuk memastikan arahan Presiden agar pembatasan jarak fisik berskala besar berjalan efektif. Secara moral, cendekiawan berlatar ilmu social menyoalkan kesadaran warga supaya menahan diri untuk tidak berkegiatan di ruang public.

Berbagai aturan disiplin telah dimanfaatkan untuk menghadirkan kajian ilmiah agar bencana virus ini dilihat dan dipertimbangkan secara rasional. Apalagi rumor bahwa penyebaran Covid19 adalah konspirasi. Tak heran, ada sebagian orang yang secara terang-terangan menolak bahaya yang ditimbulkan oleh pandemic ini bila tidak dikontrol. 

Setelah ratusan tahun pascra revolusi industry pertama manusia memanfaatkan mesin uap, eksploitasi terhadap alam mulai dilakukan secara bessar-besaran. Pembukaan lahan untuk perkebunan memaksa pekerja untuk menggunduli hutan, yang menyebabkan habitat binatang dan ekosistem terganggu. Kini, kita menyaksikan betapa mesin-mesin raksasa juga menggali bumi untuk mengaut sumber daya alam demi kerakusan manusia untuk menumpuk modal.

Selain itu, mereka memenuhi kebutuhan untuk keperluan pencitraan. Sepatutnya, setelah sekian lama alam dieksploitasi, manusia telah menyimpan banyak kekayaan bersama. Malangnya, sistem kapitalisme dan neoliberalisme memberikan jalan pada segelintir untuk meraup keuntungan dan menyimpan pundi-pundi untuk kepemilikan pribadi.

Tiba-tiba, virus korona mengentak kesadaran public, menyerang manusia secara eksponensial. Penutupan (lockdown) terbatas telah menghalang manusia untuk bekerja secara bebas, tanpa melihat latar belakang agama, bangsa, dan profesi, covid019 bisa menyerang siapa saja. Dari seorang buruh migran di Singapura hingga Pangeran Charles Inggris turut merasakan keganasan virus tersebut.


Kenyataan ini meneguhkan kepercayaan bahwa pada hakikatnya manusia itu sama dan memangku kedudukan yang berbeda karena rekonstruksi social dan warisan, bukan bawaan genetik. Filsafat humanisme mendapat tempat bahwa hakikatnya manusia itu setara dan bebas tanpa terbelenggu oleh kasta atau strata social.

Atas dasar kesetaraan tersebut, seeloknya manusia memiliki akses yang sama terhadap alam, berupa pemanfaatn dan rasa nyaman. Kini penguasaan lahan hutan, tambang, dan pantai hanya dikuasai oleh sedikit pemodal. Akibatnya, pembakaran lahan menyebabkan balita terpapar infeksi saluran pernapasan akut, penambangan merusak lingkungan, dan industry semen mengganggu keseimbangan lingkungan karena serapan air terhambat.

Malangnya, teknologi yang dihasilkan oleh sains menjadi kutukan. Alih-alih memudahkan pergerakan, justru kemacetan dan polusi mesti ditanggung oleh penghuni ibu kota. Tidak hanya menimbulkan stres, kemacetan juga memubazirkan bahan bakar minyak yang luar biasa. Tak ayal, penaklukan alam oleh kaum modern dikritik oleh pengusung teori kritis karena dianggap sebagai dominasi akal budi instrumental, yang didorong oleh kepentingan jangka pendek.

Tragedi korona hadir sebagai kekuatan besar untuk menghentikan hasrat manusia. Ia telah mengilhami Rhoma Irama untuk menggubah lagu dengan judul nama virus ini, yang sejalan dengan keyakinan orang ramai bahwa kita perlu berdoa, yang dilakukan di rumah, dan berikhtiar dengan melawannya sesuai anjuran pihak berwenang. Tidak ada jalan lain selain apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Di sini, individu dan kelompok dipaksa untuk kembali ke rumah.

Sebagai kediaman, tempat tinggal adalah ruang untuk berdiam, menikmati kesendirian masingmasing setelah sekian lama larut dalam kerumunan dan berusaha menyemai hubungan kekeluargaan secara otentik. Untungnya, mereka tidak sama sekali terisolasi, karena akses teknologi informasi masih memungkinkan untuk berkomunikasi dan berbagi cerita. Hanya saja, percakapan di media sosial masih disandera oleh pertikaian politik elektoral, sehingga usaha memahami dan menangani bencana ini dalam kerangka konflik kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun