Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Sekolah (Saat Pandemi)

6 April 2021   11:08 Diperbarui: 6 April 2021   11:18 5055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menolak tawaran itu secara halus, bagiku pandemi ini bukanlah ajang bisnis untuk mencari keuntungan sesaat di saat intansi pendidikan yang kukelola tengah dilanda krisis pemasukkan. Bagiku, ini adalah penghinaan untuk sekolah dimana ia menjadi tonggak dan pilar utama membentuk moral bangsa, namun terjebak dalam lingkaran setan suap-menyuap.

 Seorang guru muda berperawakan sedang mengacungkan jarinya, lalu dengan teratur dia berkata:

"Pak kepala, menurut hemat saya pembelajaran tatap muka selama pandemi harus ditiadakan dengan mengoptimalkan media sosial sebagai alat belajar jarak jauh. Mengapa ini perlu dilakukan? Sebab, banyaknya aduan dari wali murid menandakan bahwa pembelajaran yang kita lakukan sifatnya monoton. Siswa hanya beranjak dari tugas ke tugas, tidak ada hal-hal menarik yang kreatif dan inovatif. Cobalah sesekali kita menjadi youtuber, merekam pembelajaran melalui video lalu siswa menyimak dengan seksama melalui gawai. Atau mungkin kita melakukan pembelajaran melalui berbagai aplikasi meeting, dengan begitu meski terkendala jarak, tatap muka bisa dilakukan melalui gawai.

Selain itu pak... Menurut saya akan sangat beresiko memaksakan tatap muka di saat korban masih saja berjatuhan. Secara tidak langsung kita mempertaruhkan nyawa anak-anak, padahal jelas-jelas fokus pemerintah dan masyarakat ialah kesehatan, bukan lain-lain. Sekarang kondisinya sangat darurat pak, semisal kita memaksakan para siswa tatap muka lalu mereka meninggal secara massal karena terjangkit COVID 19 di sekolah. Sejatinya mereka meninggal karena... kita bunuh dengan menciptakan sistem yang tidak ramah terhadap mereka.

Sungguh ironis, kita berpura-pura peduli kepada mereka, tidak ingin melihat mereka bingung menghitung satu ditambah satu sesuai versi kita dengan mengundang malaikat Izrail di tegah-tengah sekolah. Benar-benar kekonyolan yang sangat nyata!

Terakhir pak, konsep New Normal yang saya tahu itu untuk membangkitkan ekonomi negara, bukan nekat memberangkatkan anak-anak dari rumah ke sekolah tanpa ada pertanggungjawaban pasti dari kita semua. Perlu diingat, keputusan rapat kita hari ini berdampak terhadap segala kemungkinan di waktu mendatang, termasuk kemungkinan terburuk."

Guru muda itu mengakhiri pembicaraannya. Beberapa guru yang tak sepakat, tampak marah. Hal itu tampak dari wajah mereka yang memerah, bagaikan terbakar bara api, termasuk Pak Ahmad. Aku mencoba mencari jalan tengah akan adanya dua perbedaan pendapat, dengan mengambil sudut pandang positif masing-masing pihak. Intinya, meski berbeda mereka sama-sama mempunyai niatan baik sekaligus mencari solusi atas segala permasalahan yang terjadi, khususnya di sekolah.

Meski begitu, aku sebagai Kepala Sekolah harus segera memutuskan kebijakan pembelajaran anak-anak di sekolah atau memperpanjang pembelajaran di rumah. Setelah menimbang cukup matang, akhirnya aku memutuskan untuk memperpanjang pembelajaran dari rumah. Tak disangka, beberapa guru yang sekubu dengan pak Ahmad sontak memukul meja, lalu keluar ruangan dengan mengucapkan kata-kata kasar.

Aku hanya bisa diam, sembari melihat mereka yang tak sepakat dengan keputusanku pergi begitu saja. Beberapa guru yang sepakat dengan keputusanku langsung mendekat, lalu berkata:

"Apa yang bapak putuskan sudah benar. Anak-anak kita bukanlah kelinci percobaan tatap muka di sekolah saat negara dilanda wabah corona. Mudah-mudahan para wali murid bisa memaklumi keputusan kita..."

Aku tersenyum, seraya mengangguk. Meski jauh dari lubuk hati, aku rindu suasana yang dulu, dimana anak-anak belajar dan bermain di sekolah, namun hal itu jangan sampai membuatku gelap mata dengan menghadirkan mereka di saat situasi belum aman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun