Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruwet

28 Mei 2020   04:55 Diperbarui: 28 Mei 2020   05:17 2585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ruwet... Ruwet... Ruwet..."

                Begitulah kata presiden Jokowi yang sempat viral di sosial media menanggapi rumitnya penanganan covid 19. Salah satu sisi yang ruwet, ialah ketika beliau menyuruh masyarakatnya untuk tetap berada di rumah, namun ada beberapa orang terpaksa bekerja di luar demi mempertahankan kodisi ekonomi keluarga. Di sisi lain ada beberapa pihak yang menyerukan kata 'lockdown' total untuk memutus penyebaran covid 19. Sayang, orang-orang yang menyerukan kata lockdown tidak memperhatikan sisi ekonomi negara Indonesia, padahal saat ini negara belum mampu mencukupi kebutuhan pokok,  berupa ketersediaan makanan masyarakat, sehingga istilah lockdown agaknya terlalu ngawang untuk diterapkan di Indonesia. Pemerintah hanya bisa menggunakan istilah karantina wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

                Keruwetan yang dirasakan pak Jokowi setidaknya juga aku rasakan ketika menghadapi masyarakat desa. Aku yang berprofesi sebagai seorang penyuluh lapangan KUA di sebuah kecamatan kecil benar-benar kelimpungan mensosialisasikan instruksi pemerintah pusat agar meniadakan sementara kegiatan-kegiatan ritual di tempat ibadah, dan kemudian ibadah-ibadah itu dialihkan ke rumah masing-masing. Komentar-komentar nyinyir langsung tertuju padaku tatkala mensosialisasikan anjuran pemerintah pusat, sembari menyerahkan sepucuk surat.

                "Halah mas, orang mau beribadah kok dilarang-larang? Itu namanya menentang hak asasi manusia."

                "Halah mas, orang mau beribadah kok dilarang-larang? Itu namanya menentang sila pertama pancasila."

                "Tempat ibadah ditutup, tapi pasar dibuka lebar-lebar, karepmu piye to mas?"

                Aku yang dicocor banyak pertanyaan berusaha menjelaskan maksud dan tujuan pemerintah sepelan mungkin agar bisa mereka pahami. Maklum, yang kutemui adalah orang-orang tua. Umur mereka puluhan tahun di atasku yang notabene masih bau kencur sekaligus ingusan. Salah-salah mensosialisasikan, bisa-bisa mereka tersinggung dan aku dicap sebagai anak muda tak sopan, suka menggurui, dan memaksakan pendapat.

                Sayang seribu sayang, mereka tak menggubris penjelasanku.

                "Biarkan kami tetap melaksanakan ibadah. Masa sama virus aja takut, itu namanya syirik."

                Astaghfirullah... Hatiku kecilku menangis. Surat yang kubawa sejatinya merupakan hasil kesepakatan dari berbagai pakar, mulai pakar kesehatan, pakar sosial, bahkan tak luput pakar agama diundang untung merumuskan fatwa beribadah di rumah.

                "Insya Allah adanya himbauan ini tak ada maksud untuk menggoyahkan aqidah umat pak. Himbauan ini merupakan alternatif ibadah saat situasi darurat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun