Mohon tunggu...
Adam Afrixal
Adam Afrixal Mohon Tunggu... Pemerhati Kebijakan Publik

Seorang pemerhati kebijakan publik di Indonesia, saya fokus pada analisis kebijakan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Saya berbagi pandangan untuk meningkatkan pemahaman publik tentang kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan demi kemajuan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yang Tinggal Tapi Tak Terdata : Pentingnya Pendataan Penduduk Non Permanen di Kota Balikpapan

27 Juni 2025   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2025   14:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengumuman Disdukcapil Soal Penduduk Non Permanen

"Saya sudah tinggal di Balikpapan hampir satu tahun, tapi KTP saya masih luar kota." Ungkapan ini kerap saya dengar dari warga di sekitar kawasan padat penduduk. Mereka bekerja, menyewa kontrakan, menyekolahkan anak di sekolah negeri, dan memakai air PDAM setiap hari. Namun secara administratif, mereka tak terdata sebagai bagian dari sistem kota. Mereka adalah penduduk non-permanen---nyata dalam aktivitas, tapi tidak dalam catatan.

Ini bukan hanya masalah administratif. Ketika saya mendalami lebih jauh, masalahnya jauh lebih luas. Penduduk non-permanen di Balikpapan jumlahnya signifikan. Jika jumlah resmi yang tercatat adalah 757.418 jiwa, lembaga seperti BPS menyebut sekitar 900 ribu jiwa dan DLH memperkirakan jumlah riilnya lebih dari satu juta. Artinya, ratusan ribu orang hidup di kota ini tanpa masuk dalam perencanaan resmi pemerintah. Konsekuensinya terasa langsung di lapangan---daya tampung sekolah negeri yang hanya bisa menampung 51% siswa, antrian air yang terus memburuk, dan beban persampahan yang melonjak.

Pendataan penduduk non-permanen hadir sebagai langkah korektif terhadap ketimpangan ini. Pendataan ini menyasar siapa pun yang tinggal di Balikpapan lebih dari satu bulan dan ber-KTP luar kota. Tujuannya adalah memastikan mereka tercatat, terlindungi, dan terfasilitasi hak haknya. Prosesnya bisa dilakukan secara mandiri atau melalui bantuan agen, yang saat ini sudah mencapai 340 orang. Setelah didata, warga bisa mendapatkan Surat Keterangan yang menjadi syarat untuk mengurus Surat Keterangan Domisili (SKD) di kelurahan yang berlaku satu tahun dan hanya diterbitkan satu kali saja.

Yang cukup menyedihkan bahwa banyak warga tak mengetahui prosedur ini. Mereka tidak tahu bahwa kelurahan, bukan Disdukcapil, yang berwenang menerbitkan SKD. Saya pernah melihat langsung bagaimana warga merasa "dilempar-lempar" dari Disdukcapil ke kelurahan atau sebaliknya. Hal ini kerap terjadi karena penyampaian informasi awal yang mereka terima memang belum utuh. Misalnya, mereka datang ke Disdukcapil untuk mengurus SKD, padahal SKD hanya bisa diterbitkan oleh kelurahan. Dalam kekosongan informasi ini, rasa frustrasi muncul, lalu disimpulkan sebagai "sistem yang ribet".

Hal serupa juga terjadi pada warga negara asing (WNA). Banyak dari mereka datang ke Disdukcapil dengan permintaan "mau minta surat domisili". Padahal, produk hukum yang berlaku untuk WNA adalah SKTT (Surat Keterangan Tempat Tinggal). Karena tidak memahami perbedaan produk administrasi ini, mereka akhirnya merasa ditolak, padahal petugas sudah sesuai prosedur. Di sinilah urgensi komunikasi publik itu terasa: informasi bukan hanya soal "tersedia", tetapi juga harus "dapat dimengerti".

Sementara itu, dari sisi keamanan dan perlindungan data, tata kelola kini semakin ketat. Karena data kependudukan adalah informasi rahasia yang dilindungi undang-undang, maka siapa pun yang mengurus atas nama orang lain harus menyertakan surat kuasa atau surat tugas resmi, ditambah bukti visual seperti foto bersama. Ini penting, karena pernah terjadi kasus nyata di mana KTP disalahgunakan untuk mencairkan dana pinjaman oleh orang lain. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur---ini adalah penipuan berbasis identitas.

Namun tantangan terbesar dalam pendataan bukan pada sistemnya, melainkan pada kemauan warga untuk memahami dan terlibat. Tanpa adanya pendataan, mereka kesulitan mendapat layanan. Mereka tidak bisa mengurus anak sekolah, tidak bisa mengakses bantuan sosial, atau bahkan sekadar mencetak ulang KTP karena domisili tak sesuai.

Saya percaya bahwa pendekatan kultural, partisipatif, dan berbasis empati jauh lebih efektif. Misalnya, dengan menjelaskan manfaat SKD atau SKTT dalam bahasa sederhana sesuai kebutuhan: "Dengan surat ini, anak Bapak bisa daftar sekolah," atau "Kalau ada apa-apa, kami tahu alamat pastinya." Ini bukan sekadar soal kertas, tapi soal kehadiran yang diakui negara.

Ke depan, akan lebih baik jika tersedia platform pelaporan sederhana, misalnya melalui WhatsApp atau aplikasi ringan berbasis web, agar warga non-permanen bisa melapor tanpa harus datang ke kantor. Agen yang sudah dilatih juga perlu terus difasilitasi, bukan hanya secara teknis tapi juga secara komunikasi interpersonal.

Kota Balikpapan tidak bisa tumbuh hanya berdasarkan data yang bagus di atas kertas. Ia harus berkembang dari realitas faktual: siapa saja yang tinggal, siapa saja yang terlibat, siapa saja yang menggunakan fasilitas kota. Dan untuk itu, Pendataan penduduk non-permanen bukan sekadar langkah teknis, tapi langkah keadilan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun