Mohon tunggu...
Adam Afrixal Sinuraya
Adam Afrixal Sinuraya Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Penulis Biasa

Seorang pelajar seumur hidup. Saya ingin berbagi pemikiran dan pengalaman saya lewat berbagai hal. di kompasiana saya ingin belajar menulis lebih lanjut. https://www.adamafrixal.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa sih Gampang Percaya Hoaks?

31 Maret 2020   06:30 Diperbarui: 31 Maret 2020   06:35 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin hari semakin banyak hoax yang beredar, bahkan dalam masa masa pandemi seperti ini. Bukan hanya hoax menyebabkan kita kehilangan kesabaran namun juga kehilangan keharmonisan dengan teman dan keluarga, bahkan membahayakan diri kita sendiri. Beberapa orang dapat menjadi korban hoax dan melakukan tindakan yang salah pada saat pandemi ini. Bisa saja ada yang overdosis obat dan terjadi persekusi karena hoax. 

Sebelum anda kehilangan kesabaran lagi, ada baiknya anda mengerti mengapa sebagian orang gampang termakan hoax dan yang lain seakan imun dengan hoax. Hal ini ternyata ada kaitannya dengan bagaimana otak kita memproses informasi.

Ada dua cara manusia memperoleh informasi. Yang pertama adalah dengan otak baru atau neokorteks yang mengatur komisi manusia atau berpikir sesuai logika. Yang kedua adalah dengan otak kuno yang mengatur fungsi hewani seperti mengatur nafsu makan atau rasa takut yang membantu kita untuk bertahan hidup. Otak kuno yang mengatur rasa takut ini disebut amigdala.

Amigdala ini selama ratusan tahun telah mendominasi nanti proses pengambilan keputusan manusia. Saat menjadi pemburu primitif yang bekerja adalah amigdala bukan kognitif. Otak kognitif kita baru berkembang 12000 tahun belakangan ini. 

Hingga saat ini kita masih banyak dipengaruhi oleh amigdala. Karena amigdala mempengaruhi insting kita untuk bertahan hidup.

Ketika membaca pesan hoax yang mengancam eksistensi kita, hal ini dirancang untuk membangkitkan emosi. Amigdala lebih aktif dalam hal ini.

Penelitian menemukan bahwa orang-orang yang lebih konservatif yang takut terhadap perubahan memiliki amigdala yang lebih besar dibanding yang liberal yang terbuka dengan perubahan. 

Namun bukan berarti orang yang liberal lebih rendah dibanding orang yang konservatif, karena itu adalah 2 kecerdasan yang berbeda. Kecerdasan intelijen terkait kognisi, sedang kecerdasan emosional terkait hawa nafsu.

Otak sama seperti bagian tubuh lain juga dapat ditentukan dan dipengaruhi oleh lingkungan kita. Artinya kita dapat melatih otak kita untuk lebih cerdas secara emosional. Sebagai contoh seorang pemain bola harus ada di lapangan 8 jam sehari supaya hafal dan terekam dalam otaknya sehingga diperlukan dalam 0,1 detik untuk bereaksi.

Seharusnya anda sudah paham mengapa sebagian orang akan senang sekali termakan dan membagikan berita bohong. Hal ini karena kita masih mudah termakan emosi. Kecerdasan emosional masyarakat indonesia harus ditumbuhkan lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun