Mohon tunggu...
Ab Adam
Ab Adam Mohon Tunggu... profesional -

SENYUM TULUS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perspektif Sosiologi tentang Program Kondom dalam Upaya Pencegahan HIV AIDS Sebuah Pengantar Diskusi

21 April 2014   15:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perspektif Sosiologi tentang Program Kondom dalam Upaya Pencegahan HIV AIDS

Sebuah Pengantar Diskusi

Pengantar

Arus penyebaran HIV AIDS tidak tertahankan di hampir seluruh daerah di Nusantara. Berdasarkan hasil survey perubahan perilaku, sebanyak 55 persen dari keseluruhan infeksi baru HIV AIDS disebabkan oleh hubungan seks heteroseksual (Kemenkes, 2013).

Efektifitas program pencegahan penularan HIV AIDS dipertanyakan, berbagai alasan dikemukakan terkait tidak efektifnya program-program pencegahan penularan HIV/AIDS, salah satunya adalah kegagalan menghadapi kerentanan terhadap kelompok tertentu. Negara telah melarang praktik prostitusi, namun juga gagal meredam praktek-praktek prostitusi oleh pekerja seks. Namun demikian, prostitusi tetap akan ada seiring dengan perkembangan sosial masyarakat. Hal ini didukung oleh masih adanya kesenjangan ekonomi yang menjadi masalah krusial, bukan hanya sebagai masalah moral semata.

Cara pencegahan penularan HIV/AIDS yang dilakukan pemerintah bersama Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Indonesia yaitu dengan program Abstinence (tidak berhubungan seks) sebagai pilar pencegahan pertama, Be Faithful (selalu setia pada pasangan) sebagai pilar pencegahan kedua, dan Condom (Gunakan kondom di setiap hubungan seks berisiko) sebagai pilar pencegahan terakhir. Namun demikian pilar Abstinence dan pilar Be Faithful mengalami stagnasi dan hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan tersebut terutama pada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa hal ini merupakan urusan individual yang sangat privasi. Kesadaran individual diharapkan menjadi benteng padadua tahapan ini, namun faktanya bahwa tempat hiburan malam dan “panti pijat” selalu dipenuhi tamu/pengunjung dan salah sumber Pendapatan Daerah. Sehingga upaya penggunaan kondom bagi mereka yang berperilaku rentan menjadi salah satu upaya yang efektif dilakukan.

Namun demikian, tingkat keberhasilan program kondom belum sesuai yang diharapkan, sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks ditolak banyak kalangan. Setuju pada penggunaan kondom dianggap sebagai legalisasi terhadap praktek prostitusi yang dianggap tidak sesuai norma dan nilai masyarakat. Tokoh-tokoh agama mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai 'alat' untuk menanggulangi HIV/AIDS yang berarti bahwa adanya tuntutan bagi masyarakat untuk meningkatkan iman dan taqwa yang tidak memiliki korelasi langsung dengan penularan HIV/AIDS

Sehingga pola penanggulangannya semestinya mempertimbangkan aspek kompleksitas dalam masyarakat, sehingga program-program sifatnya tidak hanya sporadis tetapi menyentuh hingga ke akar persoalannya.

Dengan demikian, saya mencoba untuk memetakan program penggunaan kondom dalam sudut pandang sosial dengan menggunakan pisau analisis perspektif besar sosiologi yang terbagi atas:

1.Perspektif Struktur Fungsionalis

Fungsionalisme struktural = sistem organik

Fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan.

Dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan.

Parsons dalam imperatif-imperatif Fungsionalyang populer dengan skema AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency).

Dimana penggunaan Kondom tidak dapat menjadi fungsional dalam skema AGIL di masyarakat karena sistem sosial yang membentuk kondom (sistem keberterimaannya belum sekuat dengan sistem penolakannya)

Beberapa faktor sosial yang menguatkan penolakan kondom yaituNilai, Norma dan Moral

2.Perspektif Interaksionisme

Interaksi antara individu dengan kelompok, terutama menggunakan simbol-simbol (tanda, isyarat, dan katakata baik lisan maupun tulisan)

Orang dapat berkreasi, menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol

Untuk mempelajari tingkah laku manusia perlu memahami system makna yang diacu oleh manusia yang dipelajari

Premis H. Blumer : (1). manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagimereka, (2). Makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung

Manusia, diberkahi dengankapasitas berakal yang memungkinkan untuk melindungi dirinya dalam ancaman penyakit (HIV AIDS) dengan menggunakan kondom.

Kapasitas tersebut terbentuk karena interaksi sosial

Didalam interaksi sosial manusia dapat mempelajari arti dan simbolsimbol yang membuatnya memiliki kapasitas dalam perlindungan diri dan orang lain.

Arti dan simbol membuat manusia melakukan tindakan dan interaksi manusia secara berbeda

Manusia mampu memperbarui atau mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan berinteraksi atas dasar interpretasi mereka terhadap keadaan

Manusia dapat membuat modifikasi dan perubahan tersebut karena kemampuannya berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang membuatnya dapat meneliti kemungkinan serangkaian tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih salah satunya

Sehingga dengan Arti dan simbol tersebut membuat manusiamelakukan tindakan yang dibutuhkan terutama ketika melakukan tindakan yang berisiko (Seks) secara berbeda

Manusia mampu memperbarui atau mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan berinteraksi atas dasar interpretasi mereka terhadap keadaan

Manusia dapat membuat modifikasi dan perubahan tersebutkarena kemampuannya berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang membuatnya dapat meneliti kemungkinan serangkaian tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih salah satunya

3.PerspektifKonflik

Masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan meningkatkan posisinya.

Cenderung memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi untuk keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak melekat dalam diri individu, tetapi pada posisi orang dalam masyarakat

Berorientasi pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial

Pertanyaan mendasar dalam perspektif Konflik yaitu :

Bagaimana Kondom dalam Kepentingan Kemenkes?

Bagaimana Kondom dalam Kepentingan KPA?

Bagaimana Kondom dalam Kepentingan Industri Kondom

Dan Bagaimana Kondom dalam Kepentingan Masyarakat

Akhirnya, penggunaan kondom dalam kontekss pencegahan HIV AIDS tidak bisa lagi dengan hanya diprogramkan oleh Pemerintah tanpa proses partispisasi sosial baik partispasi oleh actor-aktor, kelompok-kelompok sosial, struktur sosial maupun sosio cultural karena rumitnya masalah terutama dalam penggeseran stigma negative yang telah mengakar kuat di masyarakat. (Tulisan ini sebagai pengantar diskusi dan sekaligus sebagai bahan penelitian penulis)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun