Mohon tunggu...
Andika Firmansyah
Andika Firmansyah Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Pengarang puisi yang akan mahsyur

Tanyakan pada Tuhan tentang saya lewat doa

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Selamat Datang Era Digital, Terima Kasih Kertas!

7 Juni 2020   10:44 Diperbarui: 7 Juni 2020   14:38 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah harus khawatir atau gembira menyaksikan hal ini? Inilah kenyataannya. Apa pun rasanya, tetap harus dikecap.

Ya, digitalisasi, itu yang terjadi saat ini. Dulu menulis, kini mengetik. Dulu mencurahkan isi hati di buku harian, sekarang bercerita pada laman Facebook. Banyak hal yang berubah. Tak ada lagi surat cinta dari sepucuk kertas untuk pujaan hati. Yang ada saat ini SMS, e-Mail, dan WhatsApp. Apa kertas memang tak lagi berguna?

Perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini cukup memudahkan kita untuk mendapatkan kabar terkini tentang dunia. Ini bukan hiperbola, tapi memang begitu adanya. Sekarang, satu klik saja sudah bisa mendapat sebuah informasi. Sedangkan tempo dulu, harus pergi ke perpustakaan atau ke toko buku untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan.

Lalu ke manakah kertas dan buku? Tetap ada, tetap berguna. Hanya saja, manfaatnya yang berubah dominasinya.

Sampai sekarang pun kertas masih memiliki peranan penting bagi umat manusia. Jika tidak lagi menjadi media tulis, maka kertas bisa diolah menjadi pembungkus, tisu, kardus, rokok, popok penyerap air, pembalut, dan lain sebagainya.

Ya, setidaknya masih banyak manfaat kertas. Tak dapat dipungkiri, kehadiran era digital saat ini cukup berpengaruh pada kehidupan dan kebiasaan. Tetapi tak semata-semata teknologi digital menjadi biang keladi atas perubahan yang terjadi.

Banyak manfaat yang dirasakan dengan banyaknya media-media daring dan sosial yang ada saat ini. Informasi dapat begitu cepat diketahui, menambah banyak teman dan jaringan walaupun hanya di dunia maya. Istilah kata, apa sih sekarang yang tidak bisa didapat dari internet? Lantas, kenapa harus khawatir?

Begini, gunakan saja analogi pisau. Pisau itu berbahaya atau tidak, tergantung siapa yang memegangnya. Begitu pula dengan internet atau media sosial. Manfaat atau mudaratnya itu tergantung dari siapa yang menggunakannya.

Sebenarnya ada satu hal yang patut dikhawatirkan, yaitu minat baca di Indonesia tetap saja kurang. Berdasarkan studi Most Literred Nation In The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Ini sangat ironis melihat begitu mudahnya sekarang untuk mengakses informasi di era digital. Sayangnya, keberadaan buku hanya dijadikan bahan referensi untuk mengerjakan makalah, skripsi, tulisan-tulisan akademis, dan laporan saja. Padahal buku juga bisa menginspirasi, membuka pikiran, dan membangun imajinasi.

Ayolah kawan, jangan membuat pabrik-pabrik kertas yang telah ambruk karena tertekan teknologi digital itu tambah kecewa. Jangan membuat media-media cetak yang bertranformasi menjadi media daring itu mengisap jempol karena tak ada yang membaca.

Kembali ke persoalan kertas dan digital. Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemperin), dalam tiga tahun ke depan, terdapat penambahan kapasitas terpasang produksi untuk pulp sebanyak 2 juta ton, dan kapasitas produksi kertas sekitar 3 juta ton.

Dari data tersebut, bisa diasumsikan bahwa kertas tidak akan pergi dari kehidupan kita. Kertas masih dibutuhkan dilihat dari meningkatnya jumlah permintaan ekspor luar negeri. Pemanfaatan kertas bukan hanya pada dunia literasi saja, tapi juga pada beberapa aspek, seperti e-commerce, industri rokok, dan makanan.

Seperti yang ditulis di awal tadi, kertas masih berguna. Hanya saja dominasinya yang tergantikan oleh teknologi digital. Yang biasa membaca buku, beralih pada e-book; yang biasa membaca surat kabar, sekarang hanya tinggal berselancar di media daring. Kertas hanya berubah menjadi layar komputer dan layar telepon pintar. Jika ingin mencari kertas, percayalah dia masih ada walau hanya menjadi pembungkus nasi.

Yang menjadi problematika di era digital ini adalah segala informasi begitu deras dan cepatnya mengalir. Sehingga masyarakat dunia khususnya di Indonesia juga cepat menerima dan bereaksi tanpa sempat menyaring dan cek ulang kebenaran dari informasi tersebut.

Hal ini menyebabkan kesalahpahaman dan kesalahan dalam menafsirkan sebuah informasi sehingga menimbulkan konflik. Ya itulah salah satu dari sekian banyak efek yang dihasilkan oleh teknologi digital.

Lantas, bagaimana kita harus menyikapinya? Sederhana saja. Bijaksanalah dalam menggunakan internet. Jika mendapat terusan informasi dari jejaring sosial bacalah sampai selesai, jangan baru baca headlinenya sudah langsung kirim ke banyak orang.

Di era kertas, kita menulis diary dan hanya diri sendiri yang bisa membaca kisah keseharian itu. Tapi hari ini apa yang terjadi? Menulis status di media sosial, maka telanjanglah kita. Apapun dibagikan, terbuka, siapa bisa tahu, bisa mengenal kita tanpa harus bertemu dengan kita.

Pada akhirnya, semua kembali kepada kita sebagai pengguna sekaligus penikmat dari kertas dan teknologi digital. Mau jadi apa, itu tergantung dari diri sendiri bagaimana cara memanfaatkannya. Jika menggunakan untuk hal yang baik, maka akan baik jadinya. Dan jika sebaliknya, maka hancurlah kita.

Sekali lagi, janganlah khawatir kita akan kehilangan kertas, tetapi jangan pula terlalu terpesona akan kehadiran era digital. Sambutlah zaman ini dengan kesiapan mental dan akal budi, bukan dengan euforia semata. Dan berterima kasihlah pada kertas yang telah memberi manfaat dan kenangan yang begitu indah.

telah tayang di qureta.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun