Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PILKADA: Menaruh Harap pada Calon Independen

11 Juli 2015   23:11 Diperbarui: 11 Juli 2015   23:11 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan tanpa alasan masyarakat menyambut sambil-lalu bahkan apatis dengan Pilkada Serentak yang akan diadakan mulai Desember tahun ini. Pemilihan Kepala Daerah dengan mekanisme calon yang diusung oleh partai politik menjadi salah satu alasan. Sedangkan, kepercayaan masyarakat akan partai politik dan DPR kian waktu semakin menurun. Kini hanya berkisar 50%, jauh lebih rendah dari kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang berkisar 73%. Faktor penyebab yang tampak di depan mata: kasus korupsi yang mengikutsertakan para aktor politik; perilaku politisi yang cenderung pragmatis dan amoral; serta ketidakpedulian parpol dalam melihat dan menanggapi kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Partai politik dianggap gagal menjadi jembatan-aspirasi antara masyarakat dengan komponen politik yang berkendara Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh parpol, pemilihan kepala daerah dilihat dalam proyeksi kekuasaan dan menjadi sarana eksistensi sempit; berapa banyak calon dari parpol yang berhasil menjadi kepala daerah; dan berapa banyak potensi dana yang bisa diperoleh oleh partai dari kepala daerah terpilih nantinya (uang mahar dan jatah partai).

Partai politik lalai memandang bahwa masyarakat tidak hanya sekedar melihat popularitas calon, maupun kemampuan modal. Masyarakat merindukan pemimpin yang jujur, bersih, serta mau mendengar dan bekerja. Jika parpol tidak berhasil ‘menemukan’ atau berani mengangkat calon yang diidam-idamkan tersebut, maka alternatif calon perseorangan (independent) menjadi pilihan.

Sebagai pelaksana ketentuan Pasal 49 ayat (10) dan Pasal 50 ayat (10) Undang-Undang nomor 1 tahun 2015, Komisi Pemilihan Umum menerbitkan Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Peraturan KPU ini memberikan peluang bagi calon perseorangan yang tidak didukung oleh partai politik untuk maju menjadi calon dalam Pemilihan Kepala Daerah dengan persyaratan jumlah dukungan penduduk di daerah calon tersebut.

Peraturan ini mensyaratkan untuk calon gubernur dan wakil gubernur sebesar 10% untuk penduduk kurang dari 2 juta; 8,5% untuk penduduk 2 juta - 6 juta; 7,5% untuk penduduk 6 juta - 12 juta; dan 6,5% untuk penduduk di atas 12 juta jiwa. Untuk calon bupati dan wakil bupati, 10% untuk penduduk sampai dengan 250.000 jiwa; 8,5% untuk penduduk 250.000-500.000; 7,5% untuk penduduk 500.000-1 juta; dan 6,5% untuk penduduk di atas 1 juta jiwa. Kenaikan 3,5% dibandingkan undang-undang sebelumnya dari syarat dukungan calon perseorangan yang ditetapkan oleh DPR ini dengan alasan efisiensi dan untuk menjamin berlangsungnya pemilihan hanya satu putaran.

6,5%-10% bukanlah jumlah yang sedikit dan hal yang mudah untuk dicapai, terutama jika tidak ada peran aktif dari masyarakat itu sendiri. Sebut saja Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok, dia adalah calon idaman untuk menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang akan datang. Dengan tidak adanya partai politik yang mendukung dirinya, maka penduduk DKI Jakarta harus “mengumpulkan KTP dukungan” sebanyak 750.000 buah yang kira-kira jika ditumpuk bisa melebihi tinggi Monumen Nasional (Monas) –icon ibukota.

Sulit, tapi tidak mustahil. Mimpi memang harus diperjuangkan, tidak bisa semerta-merta bimsalabim turun dari langit. Jika partai politik belum bisa memberikan wakil rakyat yang terpercaya, jika masih ada harapan tentang pembangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang lebih baik; tidak ada salahnya kita mulai mempertimbangkan kesempatan pilihan ini.

Akhirnya, keberhasilan calon independen untuk maju dan terpilih menjadi kepala daerah akan menjadi warning dan evaluasi bagi partai politik Indonesia untuk bergiat mencetak kader dan/atau mendukung calon kepala daerah yang kompeten dan berintegritas demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai konsolidasi demokrasi di Indonesia dapat melahirkan pemerintahan daerah yang lebih baik, dan partai politik kembali menjadi armada perjuangan rakyat yang dapat dipercaya. (AdA)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun