Mohon tunggu...
Acik Mdy
Acik Mdy Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Love flower, love gardening. Love what you grow, and what you love will grow.\r\n\r\nhttp://acikmdy-garden.blogspot.com\r\nhttp://acikmdy-recipe.blogspot.com\r\nhttp://acikmdy-journey.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Rantang Lebaran, Dulu, dan Sekarang

14 Agustus 2014   19:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:33 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Raya AidilFitri atau yang biasa kami sebut Lebaran telah lewat. Namun gema-gema takbir yang berkumandang masih terngiang dengan jelas dalam gendang telinga. Rasa-rasanya momen lebaran akan teringat selalu dan menjadi kenangan yang indah. Tak terkecuali tradisi Lebaran. Setiap orang punya tradisi Lebaran masing-masing, menurut adat-istiadat setempat, atau kebiasaan masyarakat. Salah satunya adalah tradisi hantar-menghantarkan rantang jelang Lebaran, atau biasa disebut dengan tradisi rantang didaerah asal saya.

Masih ingat kah kawan sekalian dengan rantang? Ya rantang, yang biasanya terdiri dari empat mangkuk-an, disusun rapi ketas. Warnanya kebanyakan berwarna silver polos, ada juga dengan ornamen bunga-bungaan yang dibuat timbul keluar maupun tidak, dan ada juga yang bercorak seperti baju tentara atau loreng-loreng. Kuno ya terlihatnya, dan terkesan tidak elite, tidak punya prestice sama sekali. Saya tidak tahu, apakah kawan sekalian punya perabot ini, atau tidak dirumah, sebagai barang koleksi, atau pajangan yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan untuk keperluan tertentu. Yang pasti dijaman itu, tahun 1990-an orang-orang didesa saya gemar membeli perabot rumahtangga yang satu ini. Setiap rumah pasti memlikinya. Hal ini tak lain, tak bukan, karena kegunaan rantang yang sangat membantu dan bermanfaat. Tidak hanya sebagai wadah untuk menghantarkan makanan siang keladang dan sawah, tapi juga untuk kegunaan lainnya, yaitu sebagai wadah untuk  menghantarkan hantaran jelang Lebaran.

Ketika seorang kenalan di Singapura memesan makanan dan dihantarkan dengan rantang berwarna silver polos, ingatan saya langsung tertuju pada tradisi rantang didaerah asal. Itu benar-benar merupakan suatu tradisi yang begitu kental dan terus terekam dalam otak saya hingga saat ini. Disadari atau tidak, dijaman itu, saling hantar-menghantarkan makanan khas ini sangat ditunggu-tunggu oleh warga desa. Momen-nya benar-benar dinantikan setiap menjelang bulan puasa. Rasa-rasanya lega sekali bila suatu keluarga telah melakukan kegiatan ini, serasa tidak ada beban lagi. Tak harus makanan berlabel mewah, namun sesederhana mungkin, semampunya, seberapa besar anggaran yang dimiliki oleh warga untuk membuat hantaran rantang Lebaran.

Apa itu tradisi rantang Lebaran? Saya tidak tahu apakah kawan sekalian punya tradisi Lebaran yang satu ini, atau tidak, dalam menyambut Hari Raya AidilFitri/ Lebaran. Ditempat kami (daerah asal saya) tradisi ini biasa dilakukan oleh masyarakat setempat, guna menyambut/ menandakan Lebaran akan segera tiba. Biasanya, dilakukan jelang akhir bulan puasa, yaitu satu minggu sebelum hari raya tiba. Jadi, menginjak minggu keempat dibulan Ramadhan, orang silih-berganti saling hantar-menghantarkan rantang kepada kerabat dan tetangga sekitar. Unik ya...sayapun mengatakan ini tradisi unik dan sangat berkesan.

Lantas, apakah rantang-rantang itu dihantarkan dalam keadaan kosong (sebagai hadiah Lebaran), atau kah ada isi didalamnya? Tentu saja, didalam rantang itu ada isinya. Yang dihantarkan pada kerabat dan juga tetangga adalah isi didalam rantang tersebut bukan rantangnya sebagai hadiah Lebaran. Kira-kira apa ya isi dari rantang-rantang tersebut? Isinya adalah nasi, daging ayam dimasak santan (kadang ada beberapa orang memasak daging ayam dengan cara dikecap), sambel goreng tempe dan tahu (bila punya anggaran lebih bisa ditambahkan dengan kentang, hati ayam, dan petai), mie telor/ bihun goreng, telur rebus (satu/ dua biji jika ingin diberi telur dengan anggran lebih), terakhir kerupuk unyil. Wuah...mantap kan isinya??...Sangat menggugah selera makan. Bisa dimakan saat buka puasa dan sahur. Terlebih lagi bila dalam satu hari kita mendapatkan dua sampai tiga hantaran rantang!!

Penyusunan makanan didalam rantang tersebut dibuat berurutan, mangkuk rantang paling bawah disi degan nasi, mangkuk rantang selanjutnya diisi dengan masakan daging ayam, keatas lagi bisa diisi dengan mie/ bihun goreng, sambal goreng, telur rebus (pilih salah satunya atau semuanya), mangkuk rantang paling atas diisi dengan kerupuk unyil. Masing-masing dari urut-urutan peletakan makanan itu selalu sama dan tak pernah berubah. Setiap rantang pasti memiliki urutan makanan yang sama. Karena rasa-rasanya tidak etis bukan...bila nasi diletakkan pada bagian atas rantang, sementara kerupuk yang memiliki berat paling ringan diletakkan diurutan paling bawah.

Biasanya nih, penerima hantaran rantang harus segera memindahkan isi didalam rantang untuk kemudian memberikan kembali rantang tersebut pada pengirim rantang diwaktu bersamaan. Jadi, sewaktu ada orang yang mengirimi kita rantang Lebaran, kita harus segera memindahkan nasi beserta lauk-pauknya kepiring kita sendiri. Selanjutnya, kita berikan kembali rantang tersebut. Karena diluar rumah ada yang menunggunya. Kalau jaman dulu, sewaktu saya kecil, biasanya anak-anak kebagian menghantarkan rantang. Dulu sayapun selalu kebagian tugas untuk menghantarkan rantang Lebaran pada kerabat dan tetangga sekitar. Sering sekali sampai harus memanggil kawan-kawan sepermainan saya untuk membantu menghantarkan rantang-rantang itu. Sementara orang dewasa, seperti ibu dibantu oleh kakak sepupu berbagi tugas untuk masak-masak didapur dari pagi sampai lewat tengah hari. Maklumlah...keluarga kami saat itu biasanya memasak hantaran rantang dalam jumlah lumayan banyak, bisa untuk kenduri 60 orang.

Anggarannya lumayan besar untuk melakukan tradisi rantang Lebaran tersebut. Tetapi seperti yang sudah saya bilang diatas, tradisi ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, semampunya saja. Tetangga satu RT (rukun tetangga) saja sudah banyak jumlahnya, apalagi  bila ditambah dengan kerabat, serta kenalan-kenalan lain diluar RT. Oleh karenanya, tidak semua orang melakukan tradisi ini. Hanya mereka yang merasa punya anggaran saja yang melakukannya. Bila seseorang benar-benar tidak mampu, untuk biaya makan sehari-hari saja sulit, maka merekalah yang akan mendapat hantaran rantang, dan tentu saja menjadi prioritas. Tetapi ada juga orang-orang yang membuat hantaran rantang hanya untuk tetangga kanan-kiri saja, sehingga biayanya tidaklah besar. Karena untuk masak daging, biasanya warga desa tidak membeli daging ayam, namun menyembelih ayam peliharaan sendiri. Bila hanya punya peliharaan bebek, maka bebek itulah yang disembelih untuk dimasak. Terlebih lagi disaat itu, masih banyak warga desa yang memiliki beras hasil panen sendiri. Jadi, untuk masalah biaya, tradisi hantaran rantang Lebaran tidak terasa memberatkan warga, malah mereka begitu senang.

Tahun demi tahun tradisi itu mulai memudar, dan benar-benar menghilang untuk saat ini. Saya sendiri tidak tahu kapan persisnya. Dari keluarga kami sendiri, memang sengaja menghentikan tradisi rantang Lebaran ini. Pertimbangan akan biaya menjadi kendala. Maklum...setelah keluarga kami berada pada titik nol ditahun 1995, jangankan membuat hantaran rantang untuk tetangga kanan-kiri, barang untuk makan sehari-hari saja kami kesusahan. Sekali waktu setiap jelang Lebaran, keluarga kami masih mendapat rantang Lebaran. Namun lama-kelamaan tidak ada yang menghantarkan rantang Lebaran lagi. Orang-orang sekitarpun sudah mulai enggan melakukan tradisi ini. Entah mengapa, namun pada akhirnya saya mulai mengerti, tradisi itu sudah berganti dengan tradisi menghantarkan sebotol sirup dan kue (itupun hanya untuk kerabat dekat saja).

Mengapa tradisi rantang Lebaran menghilang dan berganti dengan tradisi menghantarkan sirup dan kue? Dari pengamatan saya pribadi, warga/ masyarakat sudah tidak tertarik lagi dengan “berepot ria” memasak hantaran rantang Lebaran untuk tetangga dan kerabat. Kuno, hanya itu kata yang pas menggambarkannya. Rantangnya saja sudah tak diminati untuk dibeli dan menjadi salah satu perabot rumahtangga. Jangankan membeli, bahkan dipasarpun sudah sulit untuk menemukan penjual rantang, malah sudah tidak ada. Lho, kenapa tidak tertarik lagi untuk menjalankan tradisi ini? Setahu saya, menginjak tahun 2000-an, didaerah asal  saya, setiap jelang lebaran, disetiap rumah kesibukannya sudah berubah. Yang tadinya sibuk mempersiapkan/ membuat hantaran rantang dihari tertentu, kini menjadi kesibukan membuat kue-kue Lebaran sepanjang Ramadhan. Ya...euforia membuat kue Lebaran sendiri sedang menjadi tren dan digandrungi masyarakat disana, hingga saat ini.

Maka tidak heran, tradisi rantang Lebaran hilang bak ditelan bumi. Berganti dengan hantaran kue serta sirup, yang katanya lebih praktis. Akhirnya, menumpuklah berbotol-botol sirup dirumah keluarga kami, entah diberi kerabat, tetangga, maupun tempat ayah bekerja. Saya ingat betul satu hal, karena diminta untuk menghabiskan sirup-sirup yang ada dirumah (tidak ada yang doyan sirup rasa jeruk itu kecuali saya), saya ini selalu diare tiap Lebaran! Lho..lebih berkesan rantang lebaran kan...saya sendiri merasakan itu. Meski tidak suka daging ayam, saya suka dengan sambal goreng, mie goreng, dan kerupuknya. Karena tidak semua orang suka dengan minuman sirup, dan juga kue-kue. Contohnya saya, maaf ya dengan jujur saya katakan kalau saya termasuk orang yang tidak begitu suka dengan kue-kue Lebaran (ya mungkin karena bosan, dimana-mana kuenya sama, apalagi dulu itu tiap jelang Lebaran selalu membantu seorang tetangga membuat pesanan kue-kue Lebaran). Ya maklum juga...lidah saya ini sukanya singkong goreng, kelanting, kripik singkong, keripik pisang...Setiap Lebaran, berkunjung kerumah saudara/ tetangga, yang saya cari dimeja adalah kripik singkong, atau kelanting itu.

Pernah saya berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi rantang ini, namun ditolak oleh ibu saya. Ibu saya lebih suka mengocok telur beserta gula pasir untuk kemudian dibuat kue, dan dibagikan pada kerabat. Sering saya ini merasa sedih, kangen dengan masa-masa itu, dimana warga saling kunjung-mengunjungi seminggu sebelum hari raya, hanya untuk sekedar bersilaturahmi dengan mengantarkan makanan hasil masakan sendiri dengan wadah rantang. Meskipun yang datang hanya anak tetangga yang sedang masak-masak untuk hantaran, buat saya, itu adalah kenangan indah didaerah asal dimana warganya terlihat rukun dan damai. Bahkan warga non-muslimpun bisa ikut serta dalam tradisi ini. Indah bukan...Maknanya tidak hanya sekedar makanan yang kita hantarkan, tapi rasa persaudaraan begitu kental, mengajarkan untuk berbagi pada mereka yang tidak mampu meski kita hanya bisa memberi nasi dan lauk-pauk seadanya kita punya. Dan juga sebagai ucapan syukur pada Sang Pencipta atas berkah yang diberikan. Luar biasa maknanya...

Saya tidak tahu, apakah masyarakat disana (daerah asal) saat ini merasa kehilangan tradisi ini atau tidak, atau bahkan sudah lupa sama sekali. Dilupakan seperti rantang-rantang itu, yang dianggap kuno dan banyak dibuang oleh pemiliknya. Rantang itu kuno...tradisi hantaran rantang Lebaran juga kuno....! Yang pasti, dalam diri saya pribadi, saya ingin sekali menghidupkan tradisi ini, minimalnya dalam kehidupan saya dan suami tercinta. Meskipun belum terwujud hingga saat ini, dikarenakan setiap lebaran tidak berada ditempat (“riwa-riwi”). Tapi, bila nanti disuatu lebaran (bila diberi umur panjang) kami berada ditempat (tidak pergi kemana-mana), saya pasti akan memasak untuk tradisi rantang Lebaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun