Mohon tunggu...
Ahmad Baihaqi
Ahmad Baihaqi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tulisan adalah goresan titik pada mangkuk huruf NUN. Berlayarlah dg mangkuk itu...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Nuzulul Qur'an

28 Juli 2013   19:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:54 9827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nuzulul Qur’an adalah suatu momentum di bulan Ramadhan yang sering diperingati oleh umat Islam untuk mengenang turunnya al-Qur’an. Penyebutan Nuzulul Qur’an untuk merujuk kepada sejarahturunnya al-Qur’an yang secara bervariatif semua pendapat menyebutnya pada bulan Ramadhan.

Sehubungan dengan ini, al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan :

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (Q.S. 2 : 185)

Secara simbolik nabi Muhammad saw mengilustrasikankan bahwa al-Qur’an untuk pertama kali diturunkan dari “Lauhul Mahfudz” (batu tulis yang terjaga) sampai ke “Baytil ’Izzah” (Langit Dunia) yaitu pada Malam ‘Qadr’ di bulan Ramadhan.

Mayoritas para ulama telah bersepakat bahwa dari “Baytil ’Izzah” ini malaikat Jibril as kemudian mengantarkannya kepada nabi Muhammad saw secara bertahap, step by step, selama kurun waktu sekitar 23 tahun. Ada beberapa pendapat tentang tanggal turunnya al-Qur’an. Ada yang mengatakan di hari-hari ganjil pada sepuluh hari terakhir (‘asyrul awakhir) bulan Ramadhan. Ada pula yang mengatakan persisnya pada 27 Ramadhan. Dan ada lagi yang berpendapat tanggal 17 Ramadhan yang direlevansikan dengan “Laelatul Qadr”. Relevansi itu berkaitan dengan isyarat Allah swt antara surat al-Qadr ayat 1 dengan surat al-Anfal 41 : “...jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan (Al-Qur‟an) kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan”. Maksud dari hari Furqan atau hari bertemunya dua pasukan adalah hari terjadinya pertempuran Badr. Pertempuran itu terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 02 H., yang persisnya jatuh pada hari Selasa 13 Maret 624 M.

Sementara bagi kebanyakan orang Indonesia bahwa Nuzulul Qur’an itu terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Karena itu, setiap tanggal 17 Ramadhan, umat Islam di Indonesia menjadikannya seolah sebagai tradisi yang lestari. Hal itu dimaksudkan untuk memperingati hari turunnya al-Qur’an yang jatuh pada tanggal 17 Ramadhan. Ada yang membuat khatamul Qur’an. Ada yang membuat acara resepsi dengan ceramah agama. Ada yang berzikir secara berjamaah, dan lain sebagainya.

Terlepas dari bagaimana cara mengapresiasi peringatan nuzulul Qur’an itu, ada baiknya kita sedikit mengulik, mengorek-ngorek, atau mengupas tentang hakekat yang disebut sebagai turunnya Qur’an itu. Bagaimana sih prosesnya?

Begini say, kesan yang muncul ketika dikatakan bahwa al-Qur’an itu turun seperti sesuatu benda yang berada di atas lalu turun ke bawah atau ke bumi. Seperti pesawat mendarat atau seperti sesuatu yang turun dari langit secara tiba-tiba. Ia diilustrasikan begitu materialistik, sangat simbolik. Apa yang dikatakan Qur’an turun itu tidak pernah kita renungi dan kita pikirkan.

Coba deh direnungi, apa iya bahwa turunnya Qur’an itu dalam bentuk lembaran yang bertulis (shahifah) secara instant, sehingga nabi saw tinggal baca dengan mata inderawi. Apa mungkin dalam bentuk cahaya yang turun dari langit dan dicitrakan pada sesuatu sehingga mata Nabi dapat membacanya. Atau, apa mungkin hanya terdengar suara dari alam antah berantah yang kemudian ditangkap oleh telinga Nabi secara inderawi.

Sungguh, bahwa berbicara tentang Qur’an tak bisa dilepaskan dengan konsep-konsep nubuwwah (kenabian) dan risalah (kerasulan) yang dengannya ada wahyu yang diturunkan. Proses turunnya wahyu itulah yang dikatakan sebagai turunnya al-Qur’an (nuzulul Qur’an).

Sehubungan dengan ini Allah mengisyaratkan : "Dan tidak layak Allah berbicara dengan seorang manusia pun kecuali dengan perantaraan wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu utusan itu mewahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki." (Qs. Asy-Syura [42]: 51)

Memperingati nuzulul Qur’an tidak lain dimaksudkan untuk bisa mengambil hikmah akan wahyu Tuhan yang diharapkan bisa dipahami oleh umat Islam yang memperingatinya. Barangkali terlalu panjang untuk dibeberkan di media terbatas ini tentang konsep pewahyuan Tuhan kepada Nabi saw.

Mungkin bisa kita ambil sedikit perenungan dari surat al-Baqarah ayat 1-2 yang berbunyi : “Alif Lam Mim. Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi orang bertaqwa”.

Dalam ayat tersebut diisyaratkan bahwa Kitab itu ya Alif lam dan mim. Kata “dzaalika” adalah ism isyarah (kata tunjuk) yang menunjukkan bahwa Kitab yang kemudian disebut sebagai al-Qur’an itu adalah alif, lam dan mim. Lho, kok alif lam dan mim dibilang Kitab ya…?

Begini, alif, lam dan mim itu adalah rangkaian huruf yang tidak digabung menjadi satu kalimat. Ia tidak menjadi alamu, alaimun atau almun, dsb, akan tetapi yang dibaca adalah huruf; alif, lam dan mim. Mengapa begitu? Saya tidak menjelaskan tentang tafsir Qur’an yang pada akhirnya diakhiri dengan “Allahu a’lamu bimuraadih” (Allah lebih tau maksudnya). Saya punya cara tersendiri bagaimana memahami huruf-huruf tersebut.

Jadi begini lho say, jika yang dibaca itu adalah huruf, maka yang dikupas adalah huruf-hurufnya. Hal yang paling mendasar dalam kajian huruf adalah menelisik bagaimana proses keluarnya huruf itu. Dalam pengajian tingkat dasar, belajar menyebut keluarnya huruf itu disebut dengan Makhrajul huruf. Dari sana nanti akan muncul kategorisasi huruf. Jika huruf itu menjadi sebuah kata dan digabung dengan kata lain, maka ia menjadi kalimat, disebut juga dengan maqolah.

Nah, bagaimana sih proses keluarnya huruf-huruf itu (alif, lam, dan mim)? Sesuai dengan kategorisasinya, bahwa huruf alif itu termasuk ke dalam kategori huruf halqiyyah, yakni huruf yang keluar dari tenggorokan. Halqiyyah adalah majroth tho’aam wasy syurb, halqiyyah itu adalah tempat mengalirnya makanan dan minuman, disebut juga dengan tenggorokan. Disitulah letak dan sumber keluarnya huruf alif. Ada beberapa huruf lain yang dikategorikan sama dengan huruf alif, diantaranya ‘ain, ghain, haa, khaa.

Kedua, huruf lam. Huruf itu termasuk ke dalam kategorisasi huruf dzaulaqiyyah yang artinya masy’aruth tho’aam wasy syurb, yakni tempat merasakan makanan dan minuman. Ia terletak di ujung lidah. Tidak banyak huruf yang termasuk ke dalam huruf dzaulaqiyyah kecuali ra dan nun. Dan ketiga adalah huruf mim. Ia terletak dan berasal dari perpaduan dua bibir dan dikategorikan sebagai huruf syafawiyyah. Termasuk ke dalam kategori huruf syafawiyyah adalah huruf ba.

Jika kita telisik bahwa Kitab itu diisyaratkan dengan huruf alif lam dan mim adalah sebuah keterkaitan antara diri manusia dengan Tuhan. Alf, lam dan mim adalah sebuah proses turunnya wahyu. Dari tenggorokan, lalu bergeser ke ujung lidah dan keluar melalui rongga mulut (perpaduan dua bibir). Sesuatu yang keluar melalui ketiga tempat itu membuat keramaian dunia. Disebut juga dengan kalam. Ketika kalam itu disadari berarti ia telah membuka tabir dimana dirinya itu berada. Kalam keluar bersama nafas, karenanya tak ada suara jika tak keluar bersama nafas.

Huruf alif yang berada ditenggorokan adalah simbolisasi keberadaan Tuhan yang sejalan dengan bunyi ayat: “dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaaf : [50] 16). Tenggorokan ini adalah sumber suara sebuah ucapan (pita suara) dan digerakkan oleh nafas. Karena itu, kalam diolah oleh nafas, dimodifikasi oleh lidah dan dikeluarkan oleh mulut.

Kalam dan nafas yang keluar melalui tenggorokan adalah sebuah hukum yang mengatur dan menentukan kadar ucapan dan nafas seseorang sehingga ia dikatakan berbuat sebagaimana tulisan taqdirnya di alam awang uwung (lauhul mahfuudz). Karena itu, pada sisi ini semua ucapan manusia adalah Qur’an (wahyu Tuhan) dalam kadar tertentu yang menjadi hukum bagi dirinya sendiri. Ucapan manusia adalah hukum Tuhan yang membuat manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap kalam yang diucapkannya. Jika buruk ucapannya, entah itu karena amarah nafsu, dsb, maka buruk pula kadar dirinya dan buruk pula hukum Tuhan terhadap dirinya. Jika bagus, maka bagus pula kadarnya dan hukum Tuhan terhadap dirinya.

Suara yang membentuk sebuah ucapan dan didorong oleh nafas ditentukan oleh akal pikiran sehingga setiap kalimat merupakan realitas kesadaran. Semakin dalam kesadarannya akan setiap kalimat, semakin dalam pula dirinya mengenal Tuhan. Namun setiap kalimat itu tetaplah menunjukkan mekanisme hukum Tuhan yang menjerat manusia baik disadari atau tidak. Kalau begitu, apa kaitan akal dengan ucapan? Heheheee….., silahken lanjutken sendiri deh merenungnya…..! Selamat memperingati Nuzulul Qur’an !

Wallahu a’lam, wahuwa muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq.

alHajj Ahmad Baihaqi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun