Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekolah Tanpa Nalar

14 April 2016   15:23 Diperbarui: 14 April 2016   18:26 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang ia khawatirkan di masa depan bukanlah Oracle atau Apple, tapi perusahaan-perusahaan baru yang dikendalikan oleh anak-anak muda cerdas dan nekat. Mereka menggurita dengan ide-ide revolusioner. Ya, itulah kecemasan Bill Gates. Kecemasan yang bertumpu pada derasnya arus perubahan. Inilah openness. Keterbukaan. Mata yang terbuka dan melihat tantangan masa depan.

Bagaimana dengan sekolah di negara ini? Sudahkan mereka menciptakan atmosfir pendidikan yang kompatibel dengan kecakapan abad ke-21? Membuka hijab yang menghalangi mripat para siswa lalu membekalinya dengan budaya bernalar tingkat tinggi?

Faktanya praktek pendidikan di sekolah masih bergaya semilir angin. Sepoi-sepoi. Adem ayem. Nyaman. Belum menunjukkan gelagat adanya tanda-tanda memahami pentingnya change management untuk menyikapi derasnya arus perubahan. Sekolah terkurung oleh orbitasi rutinitas dan terbatas mata pandangnya. Myopi.

Kurikulum 2013 yang digadang-gadang melahirkan generasi emas tenggelam oleh riuh rendah resistensi. Guru-guru terkuras energi fokus dan konsentrasinya agar lulus sertifikasi. Siswa dikejar-kejar standar nilai. Orangtua pasrah bongkokan dan tidak mau tahu – yang penting nilai pelajar anaknya dapat seratus. Sekolah yang sudah mapan finansialnya sibuk membangun pencitraan sebagai sekolah berkualitas. Pesta usai ritual ujian nasional dan menjelang kelulusan pun sudah disiapkan para siswa.

Tiba-tiba kita terkejut - sejenak saja - membaca fakta betapa buruk pencapaian pelajar kita di PISA. Kita justru terkagum-kagum oleh kecakapan berpikir tingkat rendah. Bangga minta ampun saat nilai matematika anak dapat seratus. Lalu anak pun terkunci otaknya saat kita bertanya, “Setelah dapat nilai 100, what’s next? Mau apa?”

Ya. What’s next? Karena sesungguhnya yang diperlukan siswa, juga anak-anak kita, adalah keterampilan bernalar. Berpikir tingkat tinggi. Merujuk pada hasil riset Richard J Murnane (Harvard Kennedy School), pakar kebijakan pendidikan dan Frank Levy (MIT), pakar ekonomi urban, kecakapan memecahkan masalah tak rutin dan kecakapan berkomunikasi kompleks semakin dibutuhkan. Nyaris tidak lagi dibutuhkan adalah kecakapan kogntif rutin.

Lagi-lagi sekolah kita kedodoran. Dua kecakapan itu nyaris tidak diajarkan. Sekolah didominasi oleh kecakapan kognitif rutin. Menghafal. Pelajaran matematika bergeser menjadi keterampilan menghitung angka-angka. Memasukannya ke dalam rumus-rumus yang sudah dihafal sebelumnya. Tengoklah lembar-lembar LKS siswa yang dipadati oleh pertanyaan yang bersifat pengetahuan murni. Padahal jawaban dari pertanyaan itu amat mudah ditemukan di Google. Fitrah bernalar siswa dikebiri lalu dikemas ke dalam kolom-kolom angka di rapot.

Berpikir dibatasi sekedar menjawab pertanyaan: Di manakah ibu kota negara Indonesia? Sebutkan lembaga tinggi negara! Ketua MPR periode 2004 – 2009 adalah…; BPK singkatan dari…Begitu pentingkah sehingga siswa wajib mengetahui informasi semacam itu? Kalau sudah tahu dan menjawabnya dengan benar, lalu apa? Dapat nilai 100. Kalau sudah dapat nilai 100, lalu apa? Senang dan orangtua bangga. Kalau orangtua bangga, lalu apa? Ayolah, pendidikan bukan remeh temeh macam itu.

Ketika kecakapan bernalar tingkat tinggi dinihilkan, apa yang akan tersisa bagi perekembangan jiwa anak-anak kita? Mereka serupa robot yang dipadati oleh rumus-rumus dan kode-kode. Mengapa rumus dan kode itu dijejalkan, mereka sendiri geleng kepala. Tidak tahu dan tidak mau tahu. Makna dan harkat belajar yang hakiki terkikis. Digerus oleh sikap pendidikan yang terang-terangan melumpuhkan kecakapan penalaran tingkat tinggi.

Akibatnya, profil kepribadian siswa menjadi gamang. Tidak berdaulat dengan dirinya sendiri. Generasi yang kualitas mentalnya menjadi sangat empuk untuk dimakan predator perubahan.

Bagaimana tidak? Penalaran moral mereka pun rapuh. Tidak memahami alasan moral mengapa ia mengerjakan atau tidak mengerjakan tindakan tertentu. Pendidikan agama yang sarat dengan ajaran dan teladan moral disampaikan sebatas teori kognitif. Siswa tidak pernah diajak berpetualang menguak jawaban dari pertanyaan, misalnya mengapa kita mengerjakan shalat lima waktu? Apa yang akan terjadi seandainya tidak ada lagi orang berzakat fitrah dan tidak mau sedekah? Lebih imajinatif lagi misalnya apa yang akan kamu lakukan seandainya bertemu Fir’aun?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun